TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

PSHK UII: Mural Berisi Kritik Tak Boleh Sembarangan Dihapus

Ini kajian hukum PSHK UII soal penghapusan mural satire

Gambar mural di Pasuruan , Jawa Timur yang lagi viral karena dihapus Satpol PP. (Twitter.com/fullmoonfolks)

Sleman, IDN Times - Belakangan banyak bermunculan mural berisikan kritikan kepada pemerintah. Merespons hal tersebut, pemerintah pun turun tangan untuk menghapusnya.

Lalu, bagaimana penghapusan mural ini dilihat dari perspektif hukum? Ini penjelasan Ahmad Ilham Wibowo, Kepala Bidang Riset dan Edukasi Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII).

Baca Juga: Mural Satire Dihapus, Pakar UGM: Sama Kritik Sosial kok Gerah?

1. Kebebasan melontarkan kritik telah diatur dalam Undang-Undang Dasar

Mural bertuliskan "Dibungkam" di Jembatan Kewek, Kota Yogyakarta dihapus. (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Ilham menjelaskan, pemerintah baik lewat kepolisian, Satpol PP, atau aparat negara yang lain, sebenarnya tidak boleh melakukan intervensi dalam bentuk apapun. Adapun tindakan membuat mural yang bermuatan kritik dapat dikatakan merupakan salah satu perwujudan dari kebebasan berpendapat atau memberikan kritik dalam bentuk tulisan yang telah dijamin secara konstitusional oleh Pasal 28 UUD NRI 1945.

"Termasuk melakukan penghapusan terhadapnya, kecuali di dalamnya terdapat muatan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan rakyat Indonesia. Atau pembuatan mural dilakukan di tempat-tempat yang tidak seharusnya, seperti tempat ibadah," ungkapnya, Sabtu (28/8/2021).

Namun, berdasarkan Pasal 28J UUD NRI 1945, pemerintah memang boleh membatasi hak tersebut dengan beberapa syarat. Pertama diatur dalam undang-undang dan memenuhi alasan-alasan yang sah yakni, untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

2. Tidak ada undang-undang yang secara tegas melarang mural dengan muatan kritik

Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Kemudian, setelah melihat ketentuan dalam undang-undang, Ilham menjelaskan jika tidak ada undang-undang yang secara tegas melarang membuat mural dengan muatan kritik. Namun, boleh atau tidaknya membuat mural bergantung kepada konteks isi mural tersebut, yakni memuat hal yang dilarang ataukah tidak.

Untuk mural yang secara tegas dilarang yakni seperti, memuat perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan rakyat Indonesia karena dapat dikatakan melanggar Pasal 157 KUHP. Sedangkan untuk mural yang tidak dilarang seperti memuat kritik terhadap pemerintah Indonesia maupun Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini karena tidak ada ketentuan undang-undang yang melarang kritik terhadap Presiden dan Wakil Presiden.

Pemerintah juga tidak bisa menggunakan delik pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 137 KUHP karena telah dibatalkan MK lewat Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 terdapat perbedaan jelas antara kritik dengan penghinaan

"Selain itu, Presiden dan Wakil Presiden juga bukan termasuk lambang negara sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara sehingga tidak bisa dipidana dengan dalih," jelasnya.

Baca Juga: Gejayan Memanggil Gelar Lomba Mural, Karya Dihapus Dapat Nilai Lebih  

Berita Terkini Lainnya