Mural Satire Dihapus, Pakar UGM: Sama Kritik Sosial kok Gerah?

Lucu jika yang dihapus hanya gambar yang mirip Jokowi

Sleman, IDN Times - Penghapusan terhadap mural bernada satire atau sindiran, salah satunya bergambar mirip Presiden RI Joko "Jokowi" Widodo yang disertai tulisan “404: Not Found” oleh aparat, membuat Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus pemerhati seni visual, Irham Nur Anshari, angkat bicara.

Irham mengatakan dalam menyikapi persoalan tersebut hendaknya perlu dipahami kembali apa sebenarnya yang menjadi permasalahan utamanya. Hal tersebut lantaran kondisi ini sering kali dikaitkan dengan dua hal yakni pelecehan simbol negara dan perusakan fasilitas umum.

Baca Juga: Tak Sampai 24 Jam, Mural 'Dibungkam' di Yogyakarta Dihapus

1. Lucu jika yang dihapus hanya yang dianggap gambar Jokowi

Mural Satire Dihapus, Pakar UGM: Sama Kritik Sosial kok Gerah?Mural bertuliskan "Dibungkam" di Jembatan Kewek, Kota Yogyakarta dihapus. (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Menurut Irham, jika hal ini dimasukkan dalam problem perusakan fasilitas umum, maka agak sedikit menggelitik. Sebab mural yang dihapus hanya yang dianggap sebagai gambar Jokowi sementara mural lain, yang berada di sampingnya tidak ikut dibersihkan.

“Kalau terkait problem perusakan fasilitas umum ini sedikit lucu. Ditambah lagi desainer kaos yang menggunakan imaji mural juga ikut didatangi aparat untuk minta maaf,” ungkapnya pada Jumat (27/8/2021). 

Artinya, menurutnya penghapusan mural ini terkait dengan anggapan melecehkan simbol negara. Namun begitu, apakah gambar tersebut adalah gambar Jokowi atau hanya mirip atau tafsir-tafsir yang berkembang yang justru perlu dipermasalahkan. 

Seperti diketahui beberapa ahli gambar mencoba menafsirkan mural tidak sampai 50 persen memiliki kemiripan dengan Jokowi. Meski dalam praktiknya dapat dengan secara sederhana menafsirkan gambar dari gaya rambut dan dagu, tetapi hal itu tidak cukup menjadi alasan untuk menentukan mural tersebut sebagai upaya pelecehan presiden. 

“Tidak bisa dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap presiden karena itu bukan foto asli, tapi hanya gambar,” jelasnya.

2. Masih ada pihak yang gerah terhadap kritik sosial

Mural Satire Dihapus, Pakar UGM: Sama Kritik Sosial kok Gerah?Lomba mural Gejayan Memanggil. Instagram/gejayanmemanggil

Irham memandang, dalam kasus yang ada saat ini menunjukkan poin penting dari seni, yakni bagaimana seniman dapat menyampaikan kritik secara kreatif dan tersampaikan tanpa bisa diadili secara mutlak. Pasalnya, yang ada hanya berupa gambar bukan foto atau video bahkan tidak ada nama yang menyebut gambar tersebut adalah presiden.

Dari kasus ini dapat dilihat mural sebagai media menyampaikan aspirasi atau kritik menghadapi tantangan. Di era demokrasi saat ini justru patut dipertanyakan masih adanya pihak-pihak yang merasa gerah terhadap kritik sosial yang disampaikan melalui mural. 

“Sebab, tanpa ada konflik jangan-jangan ada sebuah kondisi mapan yang sebenarnya ada hierarki dominan di situ. Bentuk kritik atau aspirasi apapun hendaknya didengar dan dicari tahu,” terangnya.

Lebih lanjut, Irham mengatakan jika penggunaan mural sebagai media penyampaian aspirasi bisa dikarenakan tidak berjalannya sistem penyampai aspirasi formal di pemerintah dengan baik. Sistem yang tidak lagi mampu menampung aspirasi masyarakat menjadikan sebagian masyarakat mencari media lain untuk menyuarakan pendapatnya dengan cara mengekspos ke publik baik lewat media online maupun offline termasuk mural. 

“Kalau via online tidak cukup maka offline juga dilakukan seperti dengan poster dan mural, ini bentuk demokrasi. Tantangan bagaimana pemerintah bisa mendengar aspirasi dan kritik ini tanpa dengan mudah labelinya dengan oposisi dan sebagainya,” ucapnya.

3. Platform digital mampu distribusikan mural secara luas

Mural Satire Dihapus, Pakar UGM: Sama Kritik Sosial kok Gerah?Mural bertuliskan "Dibungkam" di Jembatan Kewek, Kota Yogyakarta dihapus. (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Kemudian, apakah penggunaan mural untuk menyampaikan aspirasi bisa dianggap efektif? Menurut Irham, di masa PPKM yang mendorong masyarakat banyak mengurangi aktivitas di luar membuat mural kurang efektif untuk menyuarakan pendapat. Terlebih juga, banyak mural yang digambar di titik-titik yang tidak terjangkau oleh publik seperti digambar di bawah jembatan. 

Namun demikian, adanya platform digital yang berkembang pesat saat ini sangat membantu sekali penyebarluasan mural. Sehingga aspirasi maupun kritik sosial dapat tersampaikan secara luas saat terdistribusikan secara online. 

“Yang menarik, sebelum mural dihapus sudah ada beberapa orang yang mengambil fotonya dan justru foto asli ini sangat viral. Foto yang tersebar ini menarik minat banyak orang yang belum sempat melihat jadi melihat karena beritanya viral mural itu dihapus. Kritik pun menjadi berlipat ganda, mati satu tumbuh seribu,” paparnya.

Baca Juga: Gejayan Memanggil Gelar Lomba Mural, Karya Dihapus Dapat Nilai Lebih  

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya