TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Masih Marak, Hoaks dan Stigmatisasi bagi Pasien COVID-19 Bisa Fatal 

Masih banyak tetangga yang mengucilkan pasien COVID-19

Ilustrasi COVID-19. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Sleman, IDN Times - Hoaks dan stigmatisasi COVID-19 hingga saat ini masih kerap ditemui di lapangan. Inisiator gerakan Sambatan Jogja (Sonjo), Rimawan Pradiptyo, menjelaskan hoaks yang ada tersebut berpengaruh besar terhadap penanganan COVID-19 di lapangan. Baik yang erat kaitannya dengan pasien COVID-19 sendiri, maupun bagi relawan.

Begitu pun untuk stigmatisasi, masih banyak pasien COVID-19 yang dikucilkan ketika dirinya diketahui terkena COVID-19.

Baca Juga: SONJO, Wujud Masyarakat Bergerak Atasi Pandemik lewat Gotong Royong

1. Hoaks COVID-19 bisa berakibat fatal bagi keselamatan seseorang

Tim Gugus Tugas Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 memakamkan jenazah pasien positif COVID-19 (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho)

Rimawan menjelaskan, hal terberat yang harus dilalui oleh relawan di lapangan adalah melawan hoaks yang tidak terkendali. Hoaks yang ada tersebut seperti halnya hoaks seseorang dicovidkan jika ke fasilitas kesehatan, seseorang akan meninggal jika divaksinasi, ambulans yang lalu lalang dikatakan hanya untuk menakut-nakuti, isolasi di selter tidak nyaman dan lain sebagainya.

Hoaks yang berkaitan dengan vaksin misalnya, hal tersebut sebenarnya bisa berakibat fatal. Di mana jika seseorang termakan hoaks tersebut, lalu tidak mau divaksinasi dan pada akhirnya terkena COVID-19, maka kondisinya dimungkinkan akan lebih parah dibandingkan dengan orang yang bersedia untuk divaksinasi.

Begitu pula dengan hoaks seseorang dicovidkan jika ke fasilitas kesehatan maupun tidak nyaman jika ke selter, hal tersebut akan berpengaruh besar terhadap keselamatan pasien yang bersangkutan karena tidak bisa mendapatkan perawatan yang optimal.

"Problemnya kalau tidak masuk selter, maka dia isoman (isolasi mandiri). Kalau isoman, banyak orang tidak punya oksimeter. Ketika itu terjadi, lalu kemudian drop, apa yang terjadi? Besar kemungkinan wafat. Jadi ada pasien kemudian melaporkan, ini sudah saturasi 60 saat isoman, ya mohon maaf, kalau yang bersangkutan besar kemungkinan (sekalipun) masuknya langsung ke ICU, itu besar kemungkinan tidak tertolong tinggi," ungkapnya pada Minggu (29/8/2021).

Bukan hanya itu, Rimawan menjelaskan jika hoaks yang muncul tersebut juga bisa berdampak pada relawan yang ada di lapangan. Di mana beberapa kali juga ambulans para relawan dihadang pemotor lantaran para penghadangnya termakan hoaks.

2. Stigmatisasi terhadap pasien COVID-19 juga masih terjadi

Ilustrasi stigma negatif pasien COVID-19 (Pexels/Cottonbro)

Selain menghadapi hoaks, stigmatisasi juga masih banyak ditemui di lapangan. Terutama di daerah yang bukan perkotaan. Banyak tetangga yang mengucilkan jika seseorang terkena COVID-19.

Akibatnya, yang bersangkutan enggan untuk melapor, memeriksakan diri, maupun dibawa ke selter. Sehingga, ketika kondisinya memburuk, maka akibat yang paling fatal, pasien yang bersangkutan bisa saja meninggal dunia.

"Banyak yang terjadi di lapangan, orang dikucilkan kalau mengatakan terkena COVID-19. Sama tetangga dikucilkan. Di Jogja mungkin hal seperti itu tidak banyak terjadi. Tapi di daerah lain, terjadi," jelasnya.

Baca Juga: Alissa Wahid: Kehilangan Orangtua saat Pandemi, Stressor Terbesar Anak

Berita Terkini Lainnya