Alissa Wahid: Kehilangan Orangtua saat Pandemi, Stressor Terbesar Anak

Masalah tak langsung selesai begitu anak diasuh orang lain

Sleman, IDN Times - Data dari Kementerian Sosial RI menunjukkan bahwa per Juli 2021, ada 11 ribu anak yang kehilangan orangtuanya akibat pandemik COVID-19. Menurut Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, bisa jadi jumlah di lapangan melebihi data yang dimiliki Kementerian Sosial. Di mana banyak juga data orangtua meninggal akibat COVID-19 yang juga tidak tercatat.

"Asumsi kami 11 ribu yang tercatat, dan masih banyak yang tidak tercatat. Apalagi ada orangtua yang meninggal tanpa dicatat sebagai kasus COVID-19. Maka anak juga tidak dicatat," ungkapnya dalam diskusi Sonjo Angkringan #58: Ketika Pandemi Meningkatkan Jumlah Yatim Piatu pada Minggu (22/8/2021).

Baca Juga: SONJO, Wujud Masyarakat Bergerak Atasi Pandemik lewat Gotong Royong

1. Anak merupakan sebuah sistem mikro

Alissa Wahid: Kehilangan Orangtua saat Pandemi, Stressor Terbesar AnakSonjo Angkringan #58, Ketika Pandemi Meningkatkan Jumlah Yatim Piatu pada Minggu (22/8/2021). Dok: istimewa

Alissa menggarisbawahi jika, ketika membicarakan anak yang yatim piatu akibat COVID-19 sebenarnya juga membicarakan sebuah sistem mikro. Di mana jika ada data 11 ribu anak yang mengalami kehilangan, berarti ada 11 ribu yang merepresentasikan sistem mikro tersebut.

Menurutnya, kehilangan orangtua adalah stressor terbesar bagi anak, di mana dia belum bisa mandiri. Apalagi jika kehilangan tersebut ada dalam konteks pandemik COVID-19 yang akan jauh lebih berat lagi.

"Dalam konteks pandemik ini lebih berat lagi karena tanpa kesiapan, dan proses sangat pendek. Yang terjadi adalah mulai ada kasus, dan anak tahunya orangtua dibawa ke RS dan tidak pernah kembali. Bahkan tidak bisa mengantar ke liang lahat," katanya.

Akibat dari hal tersebut, anak menjadi kehilangan bayangan akan keberlangsungan hidup di masa depan. Selain itu, anak juga kehilangan sistem pendukung utama.

"Di Indonesia ada kekhasan, pengalaman Gusdurian, kita menemui realita anak diambil keluarga besar, tidak secara otomatis tidak benar-benar sendiri. Tetapi tetap, sistem pendukung utama hilang. Kita tahu tidak semua besar bisa menjalankan peran secara utuh," terangnya.

2. Hal-hal yang penting diketahui

Alissa Wahid: Kehilangan Orangtua saat Pandemi, Stressor Terbesar AnakSonjo Angkringan #58, Ketika Pandemi Meningkatkan Jumlah Yatim Piatu pada Minggu (22/8/2021). Dok: istimewa

Menurut Alissa, ada hal-hal yang penting diketahui mengenai proses grieving atau berduka cita pada anak, di mana dia tetap mengikuti siklus Kubler-Ross. Pertama, dia akan mengalami denial, syok. Kedua, dia akan merasa marah dan frustasi. 

Pada tahap kedua ini, penting untuk digarisbawahi, jika rasa marah pada anak terkadang tidak bisa disalurkan karena dia tidak memiliki rasa aman untuk mengeluarkannya. Untuk itu, diperlukan pendampingan kepada anak. 

"Pada tahap ketiga, anak ini berangan-angan. Berpikir kenapa tidak saya saja. Bisa jadi tidak begini. Kalau aku jadi anak baik, orangtua tidak akan pergi. Kemudian, pada tahap keempat, anak akan merasa depresi, tidak berdaya. Kalau ini bisa dijalankan dengan baik, maka dia bisa ke masa penerimaan dan adaptasi," jelasnya. 

3. Hal yang dibutuhkan bagi anak

Alissa Wahid: Kehilangan Orangtua saat Pandemi, Stressor Terbesar AnakTim Gugus Tugas Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 memakamkan jenazah pasien positif COVID-19 (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho)

Alissa menjelaskan, ada beberapa hal yang dibutuhkan bagi anak yang ditinggal oleh orangtuanya akibat COVID-19. Pertama, yakni pendampingan proses griving, di mana anak perlu pendampingan psikolog yang mengerti mengenai siklus griving tersebut. Hal ini dimaksudkan agar anak bisa mengeluarkan apa yang ingin dikeluarkan.

Kedua, pendampingan psikososial jangka panjang, agar anak terjamin kesejahteraan. Penjaminan kesejahteraan kepada anak ini bukan hanya perlu diketahui orang dewasa, namun juga perlu disampaikan secara langsung ke anak yang bersangkutan. Sehingga bayangan gelap gulita di dalam hidupnya tidak ada. Ketiga, sistem pendukung keberlangsungan hidup. Lalu keempat perlindungan sosial jangka panjang.

"Anak balita, SD, remaja beda pendampingan. Balita pemikiran tidak ada ya sudah, nangis ya sudah. Anak SD paling butuh untuk dibantu diekspresikan kebingungan itu. Kemudian, remaja, kehidupan jati diri sudah membingungkan, mereka sudah sadar keberlangsungan hidup yang jungkir balik. Jadi beban juga berat, pendampingan berbeda," paparnya.

4. Anak yatim piatu akibat COVID-19 berdampak luar biasa

Alissa Wahid: Kehilangan Orangtua saat Pandemi, Stressor Terbesar AnakSonjo Angkringan #58, Ketika Pandemi Meningkatkan Jumlah Yatim Piatu pada Minggu (22/8/2021). Dok: istimewa

Sementara itu, Wahyu Kustiningsih, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) menjelaskan jika persoalan anak yatim piatu akibat COVID-19 tidak bisa selesai hanya setelah anak dititipkan. Masih banyak persoalan yang harus dipikirkan.

Menurutnya, dalam jangka pendek, anak yatim piatu akibat COVID-19 membuat anak bisa mengalami tekanan mental, menderita penyakit, mengalami perundungan, mengalami kemiskinan, kehilangan financial support, kebutuhan sekolah dan lain-lain. Sementara itu, dalam jangka panjang anak bisa lari ke perilaku menyimpang, persoalan fisik dan emosional, mengalami kemiskinan, konsumsi alkohol, konsumsi narkoba dan yang lainnya.

"(Anak) tidak selesai hanya setelah dititipkan, masih panjang terkait pendampingan. Satu kasus adalah mikro, tidak bisa serta merta disamakan," terangnya.

Baca Juga: Gegara Pandemik, Anak jadi Yatim Piatu dan Istri Kehilangan Suami   

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya