TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Pasien Hipertensi Paru, Harus Rutin Berobat Seumur Hidup

Koesharini divonis hipertensi paru sejak 2013

Ilustrasi diagnosis (pexels.com/annashvets)

Yogyakarta, IDN Times - Hipertensi paru atau hipertensi pulmonal merupakan penyakit yang belum terlalu banyak dikenal dibandingkan dengan hipertensi sistemik. Padahal, langkah pencegahan d dan penanganan sejak dini perlu segera dilakukan agar tidak semakin parah.

Hipertensi paru sendiri merupakan peningkatan tekanan di pembuluh darah paru yang keluar dari jantung kanan. Tepatnya dari bilik kanan menuju paru-paru. Jika dibiarkan, penyakit ini akan mempengaruhi aktivitas keseharian penderitanya maupun berakibat pada kondisi yang lebih riskan.

Salah satu pasien hipertensi paru, Koesharini Indriyawati (57) mengungkapkan, penyakit ini memang cukup asing bagi sebagian masyarakat, bahkan dari pengalamannya, baru pada tahun 2006 penyakit ini sedikit demi sedikit dikenal.

Baca Juga: Jarang Diketahui, Ini Tanda Hipertensi Paru dan Langkah Penanganannya

1. Mulai merasakan gejala sejak 2001

Koesharini Indriyawati (57), salah satu pasien hipertensi paru. (dok. Istimewa)

Koes, panggilan akrab Koesharini menceritakan awal mula dirinya terkena penyakit ini. Awalnya pada 2001 lalu. Waktu itu dirinya mengalami batuk terus menerus ditambah dengan sesak napas sampai berbulan-bulan lamanya. Sempat dirawat di rumah sakit selama dua kali dalam setahun, Koes pun divonis terkena kebocoran jantung.

"Selama satu tahun saya dua kali dirawat di rumah sakit, Agustus dan Desember. Vonis sama, kena jantung bocor. Diminta operasi kan saya waktu itu tidak punya biaya, belum ada BPJS atau Jamsostek waktu itu. Akhirnya saya bilang obat jalan saja," ungkapnya.

2. Sempat divonis paru-paru basah

Ilustrasi paru-paru (pixabay/Oracast)

Lantaran batuk yang diderita masih terus berlanjut beserta sesak napas, akhirnya Koes pun kembali memeriksakan diri. Saat periksa, dirinya pun belum divonis hipertensi paru. Malahan dirinya sempat dikira terkena paru-paru basah maupun alergi debu.

Lantaran sudah bertahun-tahun mengonsumsi obat-obatan, Koes pun merasa bosan di satu titik. Dia pun memutuskan untuk menjalani pengobatan alternatif di berbagai tempat.

"Akhirnya saya berusaha untuk herbal, tapi ternyata wajah saya bengkak. Jadi saya hentikan," katanya.

3. Divonis hipertensi paru baru pada 2013

Ilustrasi anatomi paru-paru (unsplash.com/averey)

Koes menjelaskan, dari tahun 2006 hingga 2013, dirinya sempat memutuskan untuk tidak mengonsumsi obat. Namun, pada 2013 setelah pulang kerja bibir, tangan serta kaki Koes membiru.

Dia pun memutuskan untuk ke dokter keluarga di daerah Berbah. Lantaran kondisinya dirasa cukup parah, akhirnya Koes disarankan untuk berobat ke rumah sakit Sardjito. Di Sardjito itulah dirinya divonis terkena hipertensi paru.

"Di Sardjito saya menangis dan berpikir sepertinya sudah saatnya tidak ada. Waktu hidup saya sudah tipis. Saya sudah tidak bisa dioperasi, jadi sudah 2 arus, darah bersih dan kotor sudah campur," terangnya.

Setelah divonis terkena hipertensi paru, akhirnya Koes pun rutin melakukan check-up setiap dua minggu sekali. Konsumsi obat pun juga tidak pernah dia hentikan.

4. Selalu menguatkan mental

Ilustrasi (Pixabay.com/Wokandapix)

Koes menjelaskan, bagi pasien hipertensi paru sering kali memiliki keterbatasan untuk beraktivitas. Kadang kala dirinya merasa memiliki keterbatasan beraktivitas, bahkan terkadang untuk jalan kaki dirinya juga merasa sesak maupun batuk.

"Penyakit hipertensi paru yang tidak kuat mental kondisinya gampang drop, putus asa dan depresi karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Walaupun dengan keterbatasan gini, saya masih bisa naik motor sendiri, bisa beraktivitas, nyapu, masak. Nanti kalau merasa sesak saya berhenti, jadi harus bisa mengenali diri sendiri," terangnya.

Koes mengungkapkan, meski sudah divonis hipertensi paru, dirinya tetap berusaha semangat menjalani hidup. Bahkan, dirinya sering kali memberikan semangat kepada pasien hipertensi paru lainnya. Karena menurutnya, kekuatan mental menjadi kunci bisa bertahan dari penyakit ini.

"Saya berusaha untuk tetap hidup, walaupun dengan keterbatasan yang ada. Di Sardjito juga ada program untuk berjalan sehat untuk pasien hipertensi paru. Itu saya terapkan, dan sangat membantu sekali," paparnya.

Baca Juga: Ganggu Pernapasan, Ini 6 Penyakit yang Menyerang Paru-Paru

Berita Terkini Lainnya