Kasus Slamet dan Kejadian Intoleransi di Yogyakarta
Kasus Slamet hanya satu dari banyak insiden yang terjadi.
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Yogyakarta, IDN Times - Yogyakarta kembali diterpa kasus intoleransi. Slamet Jumiarto, laki-laki berusia 42 tahun beserta keluarga, ditolak menyewa rumah di Dusun Karet, Desa Pleret, Bantul gara-gara beda agama. Penolakan tersebut terjadi menyusul adanya Surat Keputusan dengan Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/ 2015 yang menyebutkan salah satu syarat bagi pendatang untuk bisa mengontrak atau menetap adalah beragama Islam.
Sebelum kasus Slamet mencuat, insiden intoleransi juga pernah terjadi di Kota Gudeg ini. Hal tersebut membuat Yogyakarta masuk dalam 10 besar kota dengan skor toleransi terendah (zona merah) Indeks Kota Toleran Tahun 2017 keluaran Setara Institute. Tahun 2018, kajian serupa menempatkan Yogyakarta di zona oranye. Meski nilai bertambah bagus, usaha lebih perlu dilakukan agar situasi di Kota Pelajar ini menjadi lebih kondusif.
Baca Juga: Media Sosial, Cara Millennials Cegah Intoleransi
Salah satu kasus intoleransi yang pernah terjadi adalah kejadian pemotongan salib makam Albertus Slamet Sugihardi di Kelurahan Purbayan. Tempat peristirahatan terakhir Slamet itu merupakan kompleks makam warga yang mayoritas beragama Islam. Masyarakat pun menolak adanya simbol agama, termasuk salib makam, di area pemakaman yang terletak di Kotagede tersebut.
1. Pemotongan salib makam di Kotagede
Baca Juga: Intoleransi Semakin Marak, Ini Usulan Generasi Millennials kepada Pemerintah
Kasus selanjutnya menimpa Camat Kecamatan Pajangan, Bantul Yulius Suharta. Sejumlah warga menolaknya sebagai camat karena beragama non-Muslim pada tahun 2017. Akibatnya, Bupati Bantul Suharsono sempat berniat memutasi Yulius ke kecamatan lain. Akhirnya Suharsono memutuskan untuk tak memindahkan sang camat karena penolakan dianggap tak mewakili aspirasi masyarakat menurut survei terhadap warga yang tinggal di wilayah Kecamatan Pajangan.
Di tahun yang sama, pameran seni karya seniman Andreas Iswinarto di Kantor Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Bantul, yang menampilkan puisi karya aktivis buruh ,Wiji Tukul dibubarkan massa ormas.
Baca Juga: Pemda Bantul Siapkan Aturan, Antisipasi Kasus Slamet Terulang
Tahun 2016, Front Jihad Islam (FJI) mendatangi Ponpes Waria Al-Fatah dan mendesak agar tempat tersebut ditutup. Usai kejadian itu, pengelola pesantren pun melakukan pertemuan dengan kelompok perwakilan warga, dan FJI. Hasilnya, ponpes yang telah didirikan sejak tahun 2008 tersebut mesti ditutup, dan akhirnya pindah.
Di bulan April 2016, acara diskusi dan pentas musik Lady Fast dibubarkan oleh ormas dan Polisi. Mereka menuduh acara yang dilakukan di Komunitas Seni Survival Garage, Bantul, ini mengangkat tema isu LGBT.