TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Gerakan Mahasiswa: Dari Jalanan ke Media Sosial

25 tahun reformasi, pola gerakan mahasiswa berubah

Aksi Gejayan Memanggil di jalan Gejayan. (IDN Times/Paulus Risang)

Yogyakarta, IDN Times - Gerakan mahasiswa mengambil peran besar menumbangkan pemerintahan otoriter Soeharto pada tahun 1998. Gerakan mahasiswa ikut mendorong pergantian pemerintahan era Orde Baru ke era Reformasi.

Dua puluh lima tahun sudah reformasi berjalan. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, gerakan-gerakan mahasiswa pun memiliki warna sendiri untuk menyuarakan suara-suara rakyat.

Masifnya perkembangan teknologi beberapa waktu terakhir membuat suara-suara mahasiswa hadir di media sosial. Kritik, tuntutan pada pemerintah banyak menggema di kanal daring. Dari sisi pemerintah dalam merespons tuntutan mahasiswa pun juga berbeda.

1. Perbedaan gerakan dan respons pemerintah

Ketua BEM KM UGM, Gielbran Muhammad Noor. (Dok. Istimewa)

Ketua BEM KM UGM, Gielbran Muhammad Noor, berpandangan perbedaan gerakan mahasiswa sebelum reformasi dan sesudah reformasi, salah satunya adalah dampaknya. "Ini opini saya pribadi, yang membedakan adalah dampaknya, artinya goals-nya. Entah itu dari pemerintah, entah dari mahasiswa. kita punya goals yang beda dibanding gerakan reformasi dulu," ujar Gielbran, Jumat (19/5/2023).

Dari sisi pemerintah, Gielbran melihat pemerintah sekarang lebih cerdik dalam melakukan peredaman gerakan dibanding dulu. Saat Orba, pemerintah cenderung melakukan peredaman dengan cara koersif, dengan kekerasan. Beberapa tragedi yang menewaskan sejumlah orang tercatat sejarah, seperti Tragedi Malari, Tragedi Trisakti.

Saat ini pemerintah tidak lagi menggunakan cara represif, pemerintah cenderung menggunakan cara yang lunak, menggunakan cara-cara persuasif. Dengan cara audiensi hingga diundang makan bersama. Begitu pun dari sisi mahasiswa, dalam menyuarakan aspirasi telah berbeda. Teknis gerakan mahasiswa saat ini mencoba semakin kreatif, dengan memanfaatkan media sosial, dan kajian yang semakin mendalam.

"Kalau sekarang lebih ke arah yang kreatif. Artinya apa, ya lewat media-media propaganda, agitasi, media kreatif, dan berlandaskan dari kajian-kajian, tanpa menafikan gerakan-gerakan reformasi yang saya rasa punya dasar kajian yang bagus," ungkap Gielbran.

Menurut Gielbran, pasca reformasi ini, pembuatan kajian lebih masif. Namun, dirinya juga tidak menampik terjadi degradasi untuk gerakan di jalan. "Di zaman reformasi gak ada IG, FB, jadi cara melampiaskan ekspresi ya turun ke jalan. Sedangkan di gerakan kontemporer bisa lewat sosmed, tinggal gerakan jempol lah," ujar dia.

Baca Juga: Mahasiswa UGM Gelar Aksi Tolak Uang Pangkal

2. Pentingnya menyuarakan kritik di media sosial

Salah satu konten di media sosial yang berisi kritik. (Dok. Istimewa)

Gielbran mengatakan pemerintah pun saat ini menyadari, serangan atau kritikan yang hadir di media sosial lebih masif dan lebih berdampak, jika dibanding turun ke jalan. Justru turun ke jalan dinilainya hanya sebatas suplemen, menu utamanya serangan lewat media sosial.

"Misalnya aksi turun ke jalan di-framing, diramaikan dengan media sosial, ini yang membuat booming. Sehingga tetap harus padu, antara gerakan yang organik turun ke jalan dan gerakan di media, karena gerakan ke jalan akan teramplikasi lewat media sosial," kata dia.

Gielbran menyebut mahasiswa saat ini perlu mengubah paradigma. Bahwa krusial juga serangan-serangan atau kritik melalui media sosial. Gerakan melalui internet ini perlu dimasifkan agar semakin optimal.

Meski gerakan mahasiswa di jalanan secara jumlah massa mengalami penurunan. Namun, dikatakan Gielbran bukan berarti mahasiswa sekarang apatis. Untuk mengatakan apatis perlu juga barometer yang jelas. Ia melihat mahasiswa saat ini tetap ada kepedulian terhadap isu-isu di masyarakat, namun, dengan cara mereka sendiri. "Artinya, mereka bikin tulisan di medsos, ngelike, ngeshare berita isu-isu lingkungan terkini misalnya. Itu salah satu bentuk dari kontribusi mereka, meskipun dengan cara mereka," ungkap Gielbran.

Dirinya mengatakan sekali lagi, paradigma harus diubah. Kontribusi tidak melulu soal turun ke jalan, tidak melulu ikut orasi. "Ya mungkin kalau dilihat di jalanan sepi ya, gak seramai pra reformasi, tapi di sosmed ramai. Bagi saya itu sudah termasuk kontribusi dengan cara mereka masing-masing," ujarnya.

Saat disinggung apakah para mahasiswa menggunakan medsos saat demonstrasi hanya sekedar mengejar eksistensi, Gielbran menjelaskan pembuatan kajian, meme, agitasi, propaganda dan gerakan lainnya, memang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politis, alias kepentingan eksistensi. "Itu dua hal yang gak bisa dilepaskan," ujarnya.

Berbicara sebuah gerakan menurutnya juga berbasis eksistensi. Gerakan butuh eksis, agar dilirik, dan didengar. Namun, jangan juga hanya sekedar koar-koar, tanpa paham apa sebenarnya yang disuarakan untuk kepentingan masyarakat itu.

"Misal koar-koar soal UU Ciptaker, tapi gak tahu soal UU Ciptaker. Kita gak bisa buat policy brief yang oke. Kita gak bisa memberikan solusi yang oke. Cuma eksistensi tapi gak bermakna. Tidak bisa seperti itu," ujarnya.

Baca Juga: Medsos Berpengaruh Besar di Pemilu, Gen Z dan Milenial Sudah Siap?

Berita Terkini Lainnya