5 Film yang Menuai Kontroversi karena Diperankan Anak-anak

- Film Cuties (2020) yang menampilkan gadis-gadis muda menari erotis menuai kecaman luas karena dianggap eksplisit dan tidak pantas diperankan oleh anak-anak.
- Film Lolita mengangkat hubungan tidak pantas antara pria dewasa dan gadis remaja, menimbulkan perdebatan moral tentang melibatkan anak dalam skenario berpotensi merusak psikologis.
- Film yang memperlihatkan trauma perang pada anak seperti Beasts of No Nation memunculkan pertanyaan tentang batasan aman dalam memerankan trauma perang oleh aktor anak-anak.
Film adalah media yang mampu menggambarkan berbagai realitas kehidupan, bahkan yang paling kelam sekalipun. Namun, ketika tema-tema berat atau adegan sensitif melibatkan aktor anak-anak, kontroversi pun kerap muncul. Kehadiran anak-anak dalam peran yang mengandung kekerasan, seksualisasi, atau tekanan emosional mendalam kerap menuai pro dan kontra dari publik serta kritikus film.
Di satu sisi, hal ini dianggap sebagai bentuk eksploitasi, sementara di sisi lain, dianggap sebagai bentuk ekspresi seni. Berikut lima film yang menuai kontroversi karena diperankan oleh anak-anak.
1. Cuties (2020)

Film asal Prancis berjudul Cuties (2020) atau Mignonnes, yang disutradarai oleh Maïmouna Doucouré, menuai kecaman luas karena menampilkan gadis-gadis muda yang menari dengan gerakan erotis. Film ini dimaksudkan sebagai kritik terhadap hiperseksualisasi anak-anak dalam budaya modern, namun justru dianggap melakukan hal yang dikritiknya. Banyak yang menilai bahwa film ini terlalu eksplisit dan tidak pantas diperankan oleh anak-anak usia 11 tahun.
Reaksi keras datang dari masyarakat, politisi, bahkan platform streaming seperti Netflix yang dituntut untuk menarik film tersebut. Meski sang sutradara menyatakan niatnya adalah untuk membangkitkan kesadaran, namun eksekusinya dianggap terlalu vulgar dan berpotensi memberi dampak buruk bagi pemeran dan penontonnya yang masih di bawah umur. Kontroversi ini memicu debat besar tentang batasan kebebasan berkarya dalam dunia perfilman, khususnya saat melibatkan anak-anak.
2. Lolita (1962 dan 1997)

Film Lolita yang diangkat dari novel karya Vladimir Nabokov ini juga menimbulkan banyak perdebatan, baik versi tahun 1962 maupun remake-nya pada 1997. Ceritanya mengangkat hubungan tidak pantas antara pria dewasa dan gadis remaja berusia 12 tahun yang diperankan oleh aktris muda.
Meskipun banyak yang memuji kualitas sinematografi dan akting dalam film ini, namun tidak sedikit pula yang mengecamnya karena dianggap melibatkan anak dalam skenario yang berpotensi merusak psikologis mereka. Film ini menjadi contoh bagaimana karya seni bisa menimbulkan dampak sosial besar, terutama ketika batasan moral dan perlindungan anak dilanggar atas nama seni dan kebebasan berekspresi.
3. Beasts of No Nation (2015)

Film ini menampilkan aktor cilik Abraham Attah sebagai Agu, seorang anak yang direkrut menjadi tentara anak di sebuah negara Afrika yang sedang dilanda perang saudara. Meski menuai banyak pujian karena berhasil menggambarkan realita perang yang kejam dan dampaknya terhadap anak-anak, film ini juga mengundang pertanyaan tentang batas aman dalam memerankan trauma perang oleh aktor anak-anak.
Kritikus mempertanyakan sejauh mana seorang anak mampu memahami peran seberat itu tanpa mengalami dampak psikologis. Sutradara Cary Joji Fukunaga menyatakan bahwa para pemeran diberikan bimbingan psikologis dan pendampingan ketat selama produksi. Namun tetap saja, kontroversi muncul tentang apakah layak bagi industri film untuk "menjual" penderitaan anak-anak dengan realisme brutal demi hiburan atau apresiasi sinematik.
4. The Painted Bird (2019)

Film hitam-putih asal Ceko ini menampilkan kisah seorang anak laki-laki yang berjuang bertahan hidup di tengah kekacauan Perang Dunia II. Dalam perjalanan hidupnya, ia menyaksikan dan mengalami kekerasan fisik serta seksual yang sangat mengerikan. Aktor anak-anak Petr Kotlár memerankan tokoh utama dan harus melalui adegan-adegan ekstrem yang membuat penonton dan kritikus merasa tidak nyaman.
Meskipun film ini dipuji secara artistik dan sinematik, banyak yang mempertanyakan etika di balik pembuatan film tersebut, khususnya karena menggunakan aktor anak dalam konteks kekerasan yang sangat eksplisit. Beberapa festival film bahkan memberikan peringatan sebelum pemutaran. Isu utama yang mencuat adalah apakah trauma fiksi seperti itu pantas diberikan kepada aktor yang masih sangat muda, meskipun dalam setting profesional.
5. Leon: The Professional (1994)

Film ini dianggap sebagai salah satu film klasik dengan alur dan karakter yang kuat, namun juga tak lepas dari kontroversi karena menampilkan hubungan ambigu antara Mathilda (diperankan oleh Natalie Portman yang saat itu berusia 12 tahun) dan pembunuh bayaran dewasa, Léon. Banyak yang menilai hubungan ini bernuansa romantik, meskipun tidak pernah secara eksplisit diperlihatkan, namun tetap memunculkan kekhawatiran soal seksualisasi anak.
Natalie Portman sendiri di kemudian hari menyatakan bahwa ia menerima banyak pelecehan verbal setelah film tersebut dirilis, menunjukkan betapa dampaknya sangat nyata bagi anak yang memerankan karakter semacam itu. Hal ini kembali memunculkan diskusi serius di industri perfilman tentang perlindungan anak di dunia hiburan, serta pentingnya batasan moral dan hukum yang lebih ketat untuk melindungi mereka dari eksploitasi.
Kehadiran anak-anak dalam film memang bisa memperkuat cerita, menambah nuansa emosional, bahkan menyampaikan pesan yang kuat. Namun, keterlibatan mereka dalam tema-tema berat seperti kekerasan, seksualisasi, atau trauma mendalam bisa menjadi bumerang.