5 Evaluasi Diri bagi Orangtua yang Kerap Bertengkar dengan Anak

- Orangtua perlu melakukan evaluasi diri dan introspeksi untuk membangun hubungan harmonis dengan anak
- Evaluasi bisa dilakukan dengan bercermin, memahami faktor pemicu konflik, dan menghargai sudut pandang anak
- Mengakrabkan diri dengan anak, memiliki pemikiran terbuka, dan menjadi mentor yang bijak dapat meminimalisir pertengkaran
Menjadi orangtua, bisa disebut sebagai pekerjaan seumur hidup yang tanpa dibayar sepeser pun. Bak pekerjaan sosial yang harus dilakukan dengan sepenuh hati, menjadi orangtua juga mengandalkan kasih dan sayang sebagai penguatnya.
Namun, sering kali ketegangan atau pertengkaran dengan anak justru menambah beban bagi orangtua. Daripada menyalahkan anak, ada baiknya orangtua melakukan evaluasi diri terlebih dahulu. Berikut penjelasannya.
1. Anak adalah cerminan orangtua

Evaluasi dan introspeksi diri yang efektif bagi orangtua adalah dengan bercermin. Layaknya pepatah "buah jatuh tak jauh dari pohonnya," sikap anak sering kali mencerminkan perilaku orangtua, baik di masa lalu maupun saat ini, yang mungkin tanpa disadari ditiru oleh anak.
Pada dasarnya, "tidak ada asap jika tak ada api." Untuk mengatasi konflik dengan anak, orangtua bisa mulai dengan memahami faktor pemicunya. Dengan menyadari hubungan sebab-akibat ini, orangtua dan anak dapat lebih saling memahami.
2. Jangan memperlakukan anak jika orangtua tak ingin diperlakukan seperti itu

Sebagai makhluk sosial yang dilengkapi rasa simpati dan empati, orangtua idealnya mampu mengombinasikan logika dan perasaan dalam setiap keputusan bagi anaknya. Sayangnya, tidak semua orangtua mampu melakukan ini.
Masih banyak yang, atas nama kebaikan anak, bersikap keras tanpa mempertimbangkan dampaknya pada perasaan anak. Padahal, jika peran itu dibalik, belum tentu orangtua sendiri sanggup menerima perlakuan yang sama.
Contohnya, ketika meminta anak untuk fokus belajar dengan mengurangi jam nontonnya, orangtua pun sebaiknya menghormati waktu belajar tersebut dengan tidak menonton. Sikap saling menghargai ini membantu anak memahami niat baik orangtua, menciptakan hubungan yang harmonis tanpa perlu ada perdebatan atau konflik.
3. Melarang anak yang timbulkan masalah, maka orangtua wajib bertanggung jawab cari solusinya

Evaluasi berikutnya adalah soal larangan dari orangtua yang kerap diberlakukan “demi kebaikan” anak. Namun, larangan tersebut tak jarang justru memunculkan masalah baru bagi sang anak.
Sayangnya, banyak orangtua yang enggan memperhatikan detail atau mempertimbangkan dampak dari larangan yang diberlakukan. Orangtua kerap kali hanya memberikan batasan, namun tak memikirkan solusi untuk masalah yang mungkin muncul dari larangan tersebut. Akibatnya, beban itu seolah menjadi tanggung jawab anak sepenuhnya.
Contohnya, ketika orangtua melarang anak pacaran karena dianggap terlalu muda. Padahal, rasa cinta hadir secara alami tanpa memandang umur atau situasi. Larangan ini sering kali hanya berakhir pada kekhawatiran anak saat merasakan patah hati, karena orangtua cenderung melepas tangan dalam proses penyembuhannya.
Tanpa dukungan atau solusi, anak sering kali merasa kesulitan untuk mematuhi larangan yang penuh risiko. Ketika akhirnya ketahuan, bukan pemahaman yang diperoleh, melainkan konflik berkepanjangan antara anak dan orangtua.
4. Kurangi senioritas, belajar meihat sudut pandang anak

Evaluasi penting lainnya bagi orangtua adalah belajar memiliki pemikiran terbuka dan mampu melihat dari berbagai sudut pandang. Mengurangi pola pikir kolot yang lahir dari senioritas orangtua menjadi kunci dalam membangun hubungan harmonis dengan anak.
Di era modern yang semakin kompleks, orangtua tidak selalu benar dan tak bisa sepenuhnya mengendalikan hidup anak dengan aturan dan perintah yang wajib dipatuhi tanpa diskusi. Sikap orangtua yang “gila hormat” di tengah generasi muda masa kini justru hanya akan memicu konflik dan perdebatan berkepanjangan.
Sebaiknya, orangtua lebih memahami sudut pandang anak dan mengutamakan diskusi dua arah untuk mencapai titik tengah saat terjadi perbedaan pendapat. Berani meminta maaf saat salah tanpa gengsi akan menjadi contoh yang baik bagi anak. Hal sederhana ini mengajarkan anak untuk tumbuh dengan pemikiran yang terbuka dan kedewasaan dalam menghadapi perbedaan.
5. Jika ingin akrab dengan anak ya harus berusaha, baik kualitas maupun kuantitas

Puncaknya, evaluasi terbaik untuk bisa meminimalisir pertengkaran dengan anak ialah dengan mengakrabkan diri dengan sang anak. Bak pekerjaan full time, hadirlah secara penuh sebagai orangtua untuk anakmu, baik secara kualitas maupun kuantitasnya.
Jadilah sosok yang dipercaya anak sebagai tempat pulang terbaik, bukan malah jadi “lawan” yang ingin dihindari. Ingatlah, jika orangtua tanpa sadar menjadi musuh yang selalu bersikap kontra, jangankan tahu kabar terbaru kehidupan anak, sekadar dekat saja anak bisa merasa tidak nyaman, padahal dengan orangtuanya sendiri.
Pada akhirnya, menjadi orangtua bukan hanya soal memenuhi kebutuhan materi anak, tapi juga tentang seni memahami dan mendampingi. Berusaha menjadi mentor yang bijak dan sahabat sejati bagi anak akan membangun kedekatan yang lebih kuat dan mengurangi peluang terjadinya konflik.