Alasan Heri Dono Jadi Seniman: Tak Bisa Pensiun, Tak Bisa Dipecat

Gamelan mengajarkan arti penting toleransi

Sleman, IDN Times – Ting!

Bebunyian itu memungkasi senda gurau sekitar 20 orang yang menyebar di halaman tengah Studio Kalahan di Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, 30 November 2020 sore lalu.

Sang pemilik studio sekaligus perupa Heri Dono, mempersilakan kami masuk ke sebuah ruangan seperti ruang kelas. Ada kursi, papan tulis, meja guru yang dipenuhi karya seni, buku, dan hand sanitizer.

Tak ketinggalan selembar layar dan komputer jinjing. Kursi-kursi besinya itu ditata saling berjarak. Antarkursi diisi aneka instalasi aneka bentuk karya sang perupa. Ada anjing, robot, babi, dan entah apa lagi.  

Performative lecture itu yang pertama kali digelar Heri di studionya. Meski tak seingar bingar ketika Heri Dono menggelar karya-karyanya di studio itu dengan pengunjung yang membeludak. Sore itu, hanya 20 orang yang diundang secara pribadi. Mereka datang dengan bermasker dan disediakan tempat cuci tangan, juga hand sanitizer.

“Bahkan awal pandemi, saya gak keluar studio. Saya rutin menelepon ibu yang sering menginspirasi,” kata Heri yang menghabiskan waktu di dalam studio untuk mengeksplorasi karya.

Ibunya yang sudah berusia 88 tahun bertempat tinggal di Jakarta. Semasa muda, ia bekerja sebagai pegawai perpustakaan. Hingga lanjut usia pun, ia masih suka membaca. Apa yang dibacanya diceritakan kepada Heri yang acap kali memancing inspirasi bertumbuh.

Dengan balutan kain sarung, kami menyimak kisah Heri yang membuka kembali lembaran arsip proses awal kreatifnya hingga kini. Disajikan dengan bertutur, tayangan gambar, juga video. Pengarsipan kerja sama Studio Kalahan dengan kolektif seniman Ruang Mes 56 dan Srisasanti Gallery itu merupakan rangkaian pameran tunggalnya yang berjudul Kala Kali Incognito sejak 6 November 2020 hingga 3 Januari tahun depan di Tirtodipuran Link.

Baca Juga: Di Balik Karya Heri Dono, Tari Penggali Kubur hingga Ekskavator  

1. Guru itu dicari, bisa siapa saja dan di mana saja

Alasan Heri Dono Jadi Seniman: Tak Bisa Pensiun, Tak Bisa DipecatSeniman kontemporer Heri Dono membaca syair pujangga Ronggowarsito di Studio Kalahan, Sleman, 30 November 2020. IDN TIMES/Pito Agustin Rudiana

Seniman kelahiran Jakarta, 12 Juni 1960 itu beribu bapak asal Yogyakarta. Menjadi pribadi yang merdeka telah diyakini sejak muda. Tampak ketika pada usia 17 tahun, Heri Dono sudah mentahbiskan diri sebagai seorang seniman. Alasannya pun cukup unik. Apalagi dikemukakan remaja seusianya masa itu.

“Saya ingin punya profesi di mana tak bisa dipecat, tak bisa pensiun, dan selalu sama dengan siapa saja,” ungkap Heri yang sore itu tampil dengan kain oranye bercorak batik dengan rambut digelung.

Lantaran ingin berprofesi sebagai seniman, ia berkarya sejak awal. Termasuk mengarsipkan karya-karyanya sejak pertama. Namun banjir Jakarta pada 1976 membuat arsip karyanya tak selamat. Dia mulai membenahinya.

“Kalau ditanya sejak kapan berkarya, mulai 1977. Perngarsipannya sejak 1979 sampai sekarang,” kata Heri yang sempat membacakan beberapa larik syair pujangga Ronggowarsito yang berjudul Zaman Edan.

Dia bergabung di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI, sekarang ISI Yogyakarta) mulai 1980. Pada tahun itu pula, dia mulai berkarier sebagai seniman dan mulai malang melintang ke berbagai negara. Jika biasanya mahasiswa keluar kuliah karena drop out oleh pihak kampus, Heri justru keluar karena keinginan sendiri. Pada 1987, ia pun menyudahi.

“Setiap orang adalah lembaga. Setiap lembaga berhak menentukan diri. Saya adalah lembaga itu,” kata Heri.

Dan keputusan itu dinilai penting bagi seniman: kapan mulai drop-in dan drop-out. Dia pun punya konsep yang berbeda antara guru dengan teacher. Guru, baginya adalah sosok yang bisa siapa saja dan didapatkan di mana saja. Tak selalu yang mengajar di ruang-ruang akademis. Untuk mendapatkan guru, orang yang mencarinya. Berbeda dengan teacher lebih dimaknai sebagai pengajar di institusi pendidikan resmi. Pun sudah disediakan di institusi-institusi tersebut.

“Sayangnya, konsep guru di Indonesia malah mengadopsi teacher,” kata Heri.

2. Seniman kontemporer tak meninggalkan seni tradisi

Alasan Heri Dono Jadi Seniman: Tak Bisa Pensiun, Tak Bisa DipecatSeniman kontemporer Heri Dono membunyikan perahu otok-otok di Studio Kalahan, Sleman, 30 November 2020. IDN TIMES/Pito Agustin Rudiana

Heri Dono dikenal sebagai seniman kontemporer. Dia juga seniman pertama di Indonesia yang terjun di kancah global sejak 1990-an. Namun dia tak melupakan seni tradisi begitu saja.

“Justru apa yang saya lakukan berdasarkan konsep-konsep fundamental dalam seni tradisi,” kata Heri.

Bagi Heri, tak ada pengkotakan disiplin seni. Keberadaan seni tari, musik, rupa, teater merupakan satu kesatuan dalam fundamen seni tradisi. Sekaligus jadi formula konsep-konsep seni kontemporer. Dan seniman kontemporer menyatukan disiplin ilmu yang terkotak-kotak itu.

Heri mencontohkan pertunjukkan wayang yang melibatkan semua disiplin ilmu seni. Ada seni tari, seni rupa, seni musik, seni pertunjukkan yang menyatu. Tanpa kotak-kotak itu, seniman justru bisa bereksplorasi dengan sudut pandang yang dimiliki masing-masing.

“Saya dari seni rupa. Saya bisa mempersepsikan tari dari sudut pandang perupa,” kata Heri.

Dalam komunitas seni kontemporer internasional, ia dikenal atas karya-karya seni instalasi, eksperimental wayang, performance art, juga karya-karya lukisnya. Ia mengeksplorasi sejumlah elemen artistik dan non artistik berupa seni visual, mantra, sound, dongeng, kritik sosial, humor, dan untuk promosi mitologis filsafat kehidupan.

Dia juga disebut satu-satunya seniman kontemporer Indonesia yang diundang ke pameran Venice Biennial Biennale ke-50 Venesia: Zone of Urgency (2003). Sejumlah penghargaan diraihnya. Ada Prince Claus Award (1998), Penghargaan UNESCO (2000), dan Anugerah Adhikarya Rupa (Penghargaan Seni Rupa) dari pemerintah Indonesia (2014). Juga berpartisipasi lebih dari 300 pameran dan 35 bienal internasional, termasuk Kochi-Muziris Biennale (2018), Bangkok Art Biennale (2018), Venice Biennale 56th: Voyage -Trokomod (2015); Sharjah Biennial (2005); Asia Pacific Triennial (2002 dan 1993);  Yokohama Triennial (2001);  Havana Biennial (2000);  Shanghai Biennale (2000);  Sydney Biennale (1996);  dan São Paolo Biennial (2004 dan 1996).

3. Penggemar kisah Stars War yang suka mengeksplorasi wayang

Alasan Heri Dono Jadi Seniman: Tak Bisa Pensiun, Tak Bisa DipecatSeniman kontemporer Heri Dono dengan wayang Corona membunyikan yang dieksplorasinya di Studio Kalahan, Sleman, 30 November 2020.

Soal wayang, Heri Dono banyak belajar dari seniman wayang ukur, Sukasman. Sosok yang dianggap gurunya itu mahasiswa ASRI Angkatan 1961 di Jurusan Desain Komunikasi Visual. Dan pakem-pakem wayang pun diubah, tak berpaku cerita tradisional, seperti Mahabharata, Ramayana, juga epos-epos panji.

“Saya pun tertarik pada cerita-cerita Stars War, sains fictions, juga legenda,” aku Heri Dono.

Dalam kisah Sumantri Ngenger, Sukasman ingin mengisahkan dirinya dalam lakon itu sebagai Sukrasana. Bukan Sumantri. Kekagumannya pada Sukrasana yang punya karya besar dengan memindahkan Sriwedari berdasarkan keahlian dan intelektualitasnya. Bukan Sumantri yang menuai keberhasilan karena mendapat hadiah cakra dari para dewa.

“Sukasman menganggap dirinya sebagai Sukrasana,” kata Heri Dono.

Gurunya juga pengagum Vincent van Gogh. Bedanya, van Gogh berekspresi menggunakan kanvas, Sukasman memakai wayang. Meski demikian, dia tak terbaca sebagai akademik ketika membuat wayang.

“Bagi saya, itu salah. Di luar negeri, banyak seniman yang mengeksplorasi wayang,” kata Heri Dono yang juga membuat anak wayang yang menggambarkan virus penyebab COVID-19.

4. Belajar toleransi pertama kali dari gamelan

Alasan Heri Dono Jadi Seniman: Tak Bisa Pensiun, Tak Bisa DipecatSeniman kontemporer, Heri Dono dalam performative lecture di Studio Kalahan, Sleman, 30 November 2020. IDN TIMES/Pito Agustin Rudiana

Seni juga mengajarinya bertoleransi. Heri mengaku baru mengerti toleransi ketika belajar gamelan di Berlin, Jerman. Ia mencontohkan. Jika memainkan demung atau saron, maka harus memerhatikan alat bunyi lainnya seperti peking, bonang, gong.

“Harmoni jangan terganggu. Tapi juga jangan mengganggu yang lain,” kata Heri memetik konsep dasar toleransi lewat bermain gamelan.

Memainkan gamelan pun berbeda dengan alat musik Eropa lainnya. Dalam gamelan, setiap niyaga adalah konduktor. Dalam musik Eropa, konduktor cuma satu orang.

“Jadi di sekolah-sekolah perlu ada gamelan. Biar anak-anak mulai terbiasa dengan toleransi,” imbuh Heri.

5. Bikin studio yang besar, bikin rumah yang kecil saja

Alasan Heri Dono Jadi Seniman: Tak Bisa Pensiun, Tak Bisa DipecatSeniman kontemporer Heri Dono dalam performative lecture di Studio Kalahan, Sleman, 30 November 2020. IDN TIMES/pito agustin rudiana

Tak sedikit seniman yang menganggap studio hanya tempat untuk memproduksi karya, tempat bertemu teman-temannya, sebatas seremonial. Namun bagi Heri Dono, studio adalah wadah untuk memproduksi pemikiran baru. Mengingat karya adalah efek dari pemikiran manusia. Tanpa ada diskusi-diskusi intelektual, karya seni yang lahir hanya sekedar jadi klangenan.

“Seperti mengunyah sirih. Gak pernah ditelan. Zaman saya itu disebut klobotisme,” kata Heri.

Bagi Heri, studio lebih penting ketimbang rumah. Studio diperlukan seniman mengeksplorasi pemikirannya secara nyaman. Keberadaannya pun lebih kompleks ketimbang rumah. Di sana juga tempat menyimpan arsip, membuat display, ruang perpustakaan, ruang restorasi, fotografi, ruang eksplorasi bunyi, gerak, hingga simposium. Sementara rumah sebatas ruang-ruang bersekat yang difungsikan untuk ruang tamu, kamar tidur, dapur, kebun.

“Kalau belum punya rumah, bikin studio dulu. Nanti bikin rumah di dalam studio,” kata Heri yang punya rumah mungil ketimbang studio luas. 

Baca Juga: Teater Film Waktu Tanpa Buku, Cara Seniman Peringati Hari HAM Sedunia

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya