Marak Iklan Visual Hilangkan Hak Warga Nikmati Keindahan Jogja    

Tembok heritage hingga pohon dijadikan tempat menempel iklan

Yogyakarta, IDN Times - Ruang publik di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bagaikan gula dengan kualitas istimewa. Jogja yang mempunyai luas wilayah sekitar 3.185,80 kilometer persegi ini menjadi sasaran empuk iklan verbal - visual yang berisi informasi maupun promosi yang bersifat komersial barang dan jasa maupun politik, mulai dari partai politik, bendera parpol, calon anggota dewan, calon bupati, walikota, gubernur dan presiden.

Insiator Reresik Sampah Visual, Pemerhati Budaya Visual, Sumbo Tinarbuko mengatakan ruang publik Kota Yogyakarta, Sleman dan Bantul sering disebut sebagai trio wilayah seribu kunang-kunang iklan luar ruang. "Karena itulah anggota komunitas kapitalisme global berlomba untuk mengisap rasa manis itu sampai habis," ujar Sumbo, Minggu (30/4/2023). 

Hal yang hampir sama terjadi di ruang publik Kabupaten Kulon Progo dan Gunungkidul. Dua kabupaten terakhir ini bagaikan gadis cantik tumbuh mekar yang selalu dikerubuti tawon untuk dihisap manis madunya.

Selain perumpaan gula dan semut, ruang publik di DIY menurutnya layak diibaratkan sebuah novel dengan landscape yang luas. Dimana ditemui berbagai pernak-pernik ruang kota dengan berbagai permasalahannya. 

 

1. Tembok bangunan heritage hingga pohon dijadikan tempat untuk menempel iklan

Marak Iklan Visual Hilangkan Hak Warga Nikmati Keindahan Jogja    Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, Sumbo Tinarbuko. (Dok. Istimewa)

Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta ini memaparkan maraknya iklan visual di Jogja mengakibatkan tembok bangunan heritage, komersial, sekolah, rumah sakit bahkan rumah ibadah seakan menjadi galeri terbuka sebagai ruang untuk memasang, dan menempelkan iklan luar ruang.

"Cukupkah? Ternyata belum. Tukang pasang iklan komersial dan reklame politik oleh tuannya diminta untuk memasang iklan produk barang dan jasa serta reklame politik di tiang telepon, listrik, lampu penerang jalan dan tiang rambu lalu lintas," ujar Sumbo. 

 

2. Iklan hilangkan hak warga untuk melihat keindahan kota

Marak Iklan Visual Hilangkan Hak Warga Nikmati Keindahan Jogja    Penertiban alat peraga kampanye. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

Sumbo memaparkan di saat sebuah kota telah penuh dengan billboard, maka warga masyarakat tidak akan bisa lari dari penetrasi atau tekanan iklan komersial.

Ia menyebut iklan yang tidak menyisakan ruang publik yang kosong disebut sebagai teroris visual. Hal ini mengakibatkan teror terhadap kemerdekaan visual yang menjadi hak warga masyarakat di ruang publik.  

Pemilik barang dan jasa bersama tim promosi dinilai sengaja melupakan hak hakiki penghuni kota untuk melihat keindahan alam beserta peninggalan sejarah nenek moyang.

"Masyarakat mempunyai hak kemerdekaan visual untuk memandang pemandangan alam, dan keunikan arsitektural tempo dulu secara bebas dan tak terhalangi," ujarnya. 

Ruang publik yang sudah semrawut dan penuh polusi udara yang bersumber dari asal knalpot kendaraan bermotor, kini ditambah dengan polusi pemandangan. Hal itu akan berujung menjadi bencana sosial. Pengendara gampang tersulut emosi serta mudah stres saat berkendara di jalan raya yang dipenuhi dengan serbuan sampah visual iklan.

"Bagaimana solusinya? Mau tidak mau, pejabat publik yang diberi amanah memimpin dinas yang terkait dengan masalah sampah visual iklan politik, wajib menegakkan perda yang mengatur penyelenggarakan reklame di ruang publik," terangnya. 

 

 

Baca Juga: Jogja Art + Books Festival 2023 Hari Ini Resmi Dibuka

3. Jelang Pemilu, ingatkan KPU tegakkan aturan pemasangan alat

Marak Iklan Visual Hilangkan Hak Warga Nikmati Keindahan Jogja    Iklan partai politik (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Menjelang Pemilu 2024, Sumbo mengingatkan satuan tugas atau komisi pemilihan umum yang mengurusi pelanggaran pemasangan alat peraga kampanye politik, wajib bekerja aktif untuk menegakan aturan demi terwujudnya ruang publik yang bebas dari iklan politik dan bendera parpol. 

" Yang jelas, fakta visual yang muncul di ruang publik membentuk realitas sosial yang menyedihkan. Kemerdekaan visual milik warga masyarakat tidak dapat dimilikinya secara bebas merdeka sesuai dengan perspektif kemerdekaan visual di ruang publik," ujarnya.

 

Baca Juga: Menjelajah Pameran Glow In The Dark Pertama di Jogja 

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya