TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Bekas Tambang Pasir Merapi Rusak, Warga Tunggu Program Reklamasi   

Sri Sultan HB X tutup 14 tambang pasir ilegal Merapi

Sri Sultan HB X berdialog dengan penduduk lereng Merapi. (dok. Humas Kraton Jogja)

Sleman, IDN Times - Pasca penutupan 14 tambang pasir ilegal kaki Gunung Merapi oleh Sri Sultan HB X, kondisi di sekitar Kali Kuning mulai lengang. Tak ada lagi aktivitas penambangan lantaran lokasi telah ditutup portal.

Lurah Hargobinangun, Pakem Amin Rujito mengungkapkan dampak dari tambang pasir ilegal terutama yang menggunakan alat berat sangat serius. Mulai dari air Kali Kuning menjadi keruh bercampur dengan lumpur, hingga lokasi tambang tidak lagi bisa dijadikan lahan produktif.

"Kondisinya tidak terkendali, rusak lingkungan untuk dijadikan lahan produktif juga tidak bisa. Minimal kan ditanami rumput atau pepohonan masih bisa, kalau sekarang tidak bisa," ungkapnya pada Kamis (16/9/2021).

Baca Juga: Sri Sultan HB X Tutup 14 Penambangan Pasir Ilegal Merapi  

1. Berdampak ke lahan pertanian dan kolam ikan

GKR Hemas saat meninjau lokasi penambangan di Kaki Gunung Merapi / Isimewa

Amin mengungkapkan keberadaan Kali Kuning berperan cukup besar untuk kegiatan warganya, khususnya bagi aktivitas pertanian dan peternak ikan. Selain itu, terdapat beberapa warga yang memanfaatkan untuk kebutuhan air bersih bagi rumah tangga.

Imbas penambangan ilegal ini cukup besar bagi warga yang tinggal di sekitar kaki gunung. Sekitar 50 hektare lahan pertanian terdampak penambangan akhirrnya tak bisa digunakan. Selain itu, beberapa peternak harus merelakan ikan-ikannya mati lantaran airnya tercemar.

"Petani yang ada di Selatan Kali Kuning yang ada di wilayah saya, airnya bercampur dengan lumpur, pekat, merusak lahan pertanian. Lahan tidak bisa digunakan untuk bercocok tanam. Ada juga beberapa kolam, ikannya akhirnya mati," terangnya.

Baca Juga: Pakar: Saatnya Perbaiki Tata Kelola Tambang Pasir Merapi

2. Izin sudah selesai pada 4 Agustus 2021 lalu

Ilustrasi penambangan pasir Merapi. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

Amin menjelaskan aktivitas penambangan ini awalnya dimulai pada awal 2020 lalu. Perizinan seharusnya berakhir pada 4 Agustus 2021 lalu. 

Petani dan peternak ikan yang mengeluhkan air Kali Kuning bercampur lumpur, akhirnya lapor ke Pemkab Sleman dengan cara berkirim surat. Selanjutnya aduan ditindaklanjuti dengan memberikan larangan penambangan.

"Tambang tidak dikembalikan lagi. Tidak ada reklamasi dan perbaikan lahan. Jadi ditinggal begitu saja," jelasnya.

3. Perlu pikirkan langkah pengembalian fungsi lahan

GKR Hemas sidak lokasi penambangan pasir ilegal di muara Sungai Opak.IDN Timrs/Daruwaskita

Menurut Amin, setelah penutupan tambang terdapat dua persoalan yang harus dipikirkan. Pertama cara reklamasi tambang dan kedua nasib warga yang menggantungkan hidup dari penambangan yang biasanya menggunakan alat manual.

Untuk proses reklamasi bekastambang ilegal , menurut Amin pihak kelurahan tidak sanggup jika melakukannya sendiri. Alasannya dana yang dibutuhkan sangat besar. Untuk itu, pihaknya berharap agar pemerintah daerah setempat bisa membantu.

"Solusi untuk mengalihkan warga kami yang mata pencahariannya di tambang, kita carikan pekerjaan yang bisa mengalihkan dari kegiatan penambangan. Selain itu, ke depan kita bersama-sama kembali menghijaukan lereng Merapi karena salah satu daerah resapan air yang ada di bawah," katanya.

Berita Terkini Lainnya