Pakar: Saatnya Perbaiki Tata Kelola Tambang Pasir Merapi

Penambangan pasir Merapi yang dulu gak begini

Sleman, IDN Times - Pemerintah Daerah Istimewa (DIY) telah menutup 14 titik penambangan pasir ilegal di lereng Gunung Merapi yang merusak lingkungan.

Terkait hal tersebut, Pakar Mitigasi Bencana dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, mengatakan penutupan tambang pasir ilegal tersebut bisa menjadi kesempatan untuk memperbaiki tata kelola pertambangan di kawasan tersebut.

"Ini kesempatan memperbaiki tata kelola tambang pasir Merapi," ujar Eko pada Rabu (15/9/2021) dilansir ANTARA.

Baca Juga: Sri Sultan HB X Tutup 14 Penambangan Pasir Ilegal Merapi  

1. Tata kelola penambangan pasir harus diperbaiki

Pakar: Saatnya Perbaiki Tata Kelola Tambang Pasir MerapiIlustrasi penambangan pasir di lereng Gunung Merapi pasca dua tahun erupsi 2010. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Menurut Eko, perbaikan tata kelola tambang pasir di kawasan Merapi mutlak diperlukan. Apalagi, kawasan tersebut bermanfaat untuk konservasi air di wilayah DIY. 

"Harus diatur mana lokasi yang boleh dan tidak boleh ditambang, kemudian menambangnya harus seperti apa. Jangan sampai menambang dengan menabrak aturan main," paparnya.

Selain itu, aktivitas penambangan juga harus berlandaskan perencanaan yang tidak mengganggu aspek mitigasi kebencanaan. Warga sekitar harusnya juga bisa merasakan hasil dari penambangan tersebut.

"Distribusi manfaatnya harus merata, warga sekitar dapat apa, dan pemda dapat apa. Jangan sampai keuntungan tambang dari proses merugikan pihak lain," tambah Eko.

2. Tak hanya di Sleman, tapi juga di Klaten

Pakar: Saatnya Perbaiki Tata Kelola Tambang Pasir MerapiSri Sultan HB X berdialog dengan penduduk lereng Merapi. (dok. Humas Kraton Jogja)

Eko mengatakan, dirinya telah menyaksikan kerusakan fungsi sungai akibat penambangan liar di kaki Merapi. Saat itu, ia mengamati kondisi Merapi dari udara bersama Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) pada 2020.

"Sistem sungai sudah tidak sebagaimana mestinya. Kegiatan penambangan pasir sudah merusak sistem sungai. Sabo dam hanya menjadi hiasan karena tidak berfungsi lagi," katanya.

Tak hanya di Kabupaten Sleman, kerusakan juga ia saksikan di wilayah Klaten, Jawa Tengah. 

"Seperti di luar kendali. Di luar kaidah pertambangan yang baik," tutur Eko.

Maka dari itu, Eko mendukung kebijakan Sultan Hamengku Buwono X yang menutup lokasi tambang pasir ilegal. Ia berharap hal ini dapat diikuti upaya penegakan hukum.

"Harus diikuti dengan penegakan hukum. Jangan sampai ada tempat-tempat lain yang dibuka untuk penambangan ilegal baru," ungkapnya.

3. Penambangan pasir semasa Mbah Maridjan hidup lebih baik

Pakar: Saatnya Perbaiki Tata Kelola Tambang Pasir MerapiWisatawan melihat letusan Gunung Merapi dari Bukit Klangon, Cangkringan, Sleman, Selasa (3/3/2020). ANTARA FOTO/Rizky Tulus

Menurut Eko, aktivitas penambangan pasir ketika Juru Kunci Merapi, Mbah Maridjan, masih hidup jauh lebih baik. Waktu itu, pasir hanya ditambang di aliran sungai dan dilakukan ketika sungai telah terisi material dari erupsi Gunung Merapi.

"Selesai mengeruk (pasir) berhenti, menunggu ada kiriman material erupsi Merapi lagi, Tidak sampai merusak tebing, memperluas sungai, dan merusak lereng-lereng," terangnya.

Ia juga mengungkapkan, aktivitas penambangan pasir saat itu hanya menggunakan tenaga manusia, bukan dengan alat berat seperti sekarang.

"Tidak menurunkan 'backhoe'. Orang menambang itu turun ke sungai lalu membawa pasir ke atas. Pasir dikumpulkan di atas," kata dia.

Baca Juga: Sri Sultan Akan Tutup Penambangan Pasir Ilegal Merapi

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya