TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dewan Dakwah Bahas Tudingan Radikalisme di Masjid, Pesantren, Kampus

Harus dilihat jernih, tuduhan itu fakta atau fitnah

Simposium Dewan Dakwah Islaamiyah di Kampus UII, Sleman, 6 Januari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Sleman, IDN Times – Untuk pertama kalinya, Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) menggelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) di Yogyakarta pada 7-8 Januari 2020 di Gedung Asrama Haji Yogyakarta. Acara didahului gelaran Simposium Nasional bertema Optimalisasi Tiga Pilar Da’wah (Masjid, Pesantren, dan Kampus) Guna Memperkokoh NKRI Menuju Indonesia Maju yang Diridhoi oleh Allah SWT di Auditorium Kahar Muzakkir Kampus Universitas Islam Indonesia (UII) di Sleman, Senin (6/1).

Simposium yang dibagi menjadi tiga panel diskusi juga membahas soal isu radikalisme. Mengingat beberapa pihak masih menuding masjid, pesantren, dan kampus menjadi tempat bertumbuh suburnya penyebaran paham radikal.

“Itu tuduhan yang keji dan palsu. Justru ketiganya merupakan tiga pilar dakwah yang membuat NKRI semakin kokoh,” kata Ketua Umum DDI Pusat Mohammad Siddiq dalam konferensi pers di sela simposium.

Baca Juga: Haedar Nashir: Moderasi Bisa Dijadikan Alternatif dari Deradikalisme

1. Isu radikalisme perlu dibahas secara jernih

Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Pusat, M. Siddiq di Kampus UII, 6 Januari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Dewan Dakwah, lanjut Siddiq, ingin meluruskan tuduhan itu melalui simposium yang dihadiri para praktisi dakwah yang sehari-hari berkecimpung di masjid, pesantren, dan kampus. Ia berharap dapat ditemukan strategi yang tepat, akademis, dan konstitusional dalam melakukan dakwah.

“Juga ingin melihat lebih jernih, apakah tuduhan radikalisme itu fakta atau fitnah yang diada-adakan,” kata Siddiq.

Kebetulan, Ketua DDI DI Yogyakarta Cholid Mahmud melanjutkan, keberadaan masjid, pesantren, dan kampus berkembang cukup pesat di Yogyakarta.

“Bisa jadi tempat saling tukar pengalaman di Yogyakarta. jadi model pengembangan dakwah ke depan,” kata Cholid.

2. Radikalisme lebih banyak dipolitisir

Ketua Dewan Dakwah Islamiyah DIY, Cholid Mahmud di Kampus UII, 6 Januari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Cholid Mahmud menilai, isu radikalisme yang dimunculkan selama ini lebih banyak mengandung muatan politis ketimbang substansi yang mestinya dibahas dan diselesaikan.

“Perdebatan radikalisme di televisi gak jelas definisinya. Berapa orang sih yang terpapar radikalisme di Indonesia?” tanya Cholid.

Ia menjelaskan, dalam berbagai keyakinan, ada umat mempunyai kecenderungan berpikir secara radikal. Tapi persentasenya kecil. Bahkan secara mainstream, pikiran radikal tak disukai banyak orang. Tetapi tak bisa serta merta ditemukan ada tiga orang berpikir radikal di satu kampus, kemudian kampus itu dicap sebagai kampus radikal.

“Kalau tuduhan itu berdasarkan penelitian harus dijawab dengan penelitian juga,” kata Cholid.

Sedangkan cara yang diklaim efektif untuk menyadarkan muslim yang terpapar radikalisme, menurut Cholid adalah dengan memberi pemahaman yang betul. Bahwa Islam itu anti radikalisme dan intoleransi bukan bagian dari Islam.

“Bahkan melakukan kebaikan yang berlebihan tak boleh, apalagi keburukan. Yang baik-baik itu yang moderat,” kata Cholid.

3. Nilai-nilai moderat menjadi perekat berbagai elemen

Rektor UII Fathul Wahid di Kampus UII, 6 Januari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Sementara Rektor UII Fathul Wahid berusaha memastikan kampusnya tidak masuk dalam kampus-kampus terpapar radikalisme sebagaimana yang dituduhkan beberapa pihak.

“Karena UII didirikan para founding fathers dari beragam tokoh dan latar belakang. Pendiri UII ya pendiri bangsa,” kata Fathul.

Ia menjelaskan, para tokoh pendiri UII pada 8 Juli 1945 di Jakarta yang saat itu bernama Sekolah Tinggi Islam (STI) adalah KH Abdul Wahab, KH Wachid Hasyim, dan KH Bisri Syamuri dari Nahdlatul Ulama. Kemudian Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansyur, KH Faried Ma’roef dari Muhammadiyah. KH Abdul Halim dan M. Djunaidi Mansur dari Persatuan Umat Islam (PUI). KH Ahmad Sanusi dan KH Zarkasji Somoatmaja dari Perhimpunan Umat Islam Indonesia (PUII). Kemudian dokter Soekiman Wirjosandjojo, dokter Satiman Wirjosandjojo, Abikusno Tjokrosujoso, dan M. Roem dari kalangan intelektual dan ulma. Serta perwakilan Departemen Agama meliputi KH Abdulkahar Mudzakkir, KHR M. Adnan, dan Imam Zarkasji.

“Nilai-nilai moderasi yang digaungkan selama ini menjadi perekat berbagai elemen,” kata Fathul.

Baca Juga: SKB Pencegahan Radikalisme ASN Diteken, Suharsono: Jangan Suudzon

Berita Terkini Lainnya