TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dosen UGM Ingatkan Gangguan Informasi Makin Santer Jelang 2024   

Millennial perlu lakukan cek dan ricek kebenaran informasi

Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Sleman, IDN Times - Menyambut tahun politik 2024, fenomena gangguan informasi di ranah digital membuat warganet kesulitan membedakan informasi yang palsu atau hoaks dengan yang dapat dipercaya.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainuddin Muda Z. Monggilo mengkhawatirkan informasi yang tidak akurat dinilai sangat berbahaya bagi dinamika politik. Seperti halnya dapat menimbulkan situasi panik serta kekacauan, memecah belah masyarakat, meningkatkan diskriminasi, bahkan berpengaruh pada keputusan politik.

 

1. Pemakaian internet yang mudah, millennial dituntut sadar berpolitik

Ilustrasi orang sedang berselancar di media sosial (pexels.com/Kaboompics.com)

Zainuddin Monggilo mengungkapkan peluang besar dimiliki para generasi muda pada pemilihan umum (Pemilu) di tahun 2024, untuk itu generasi millennial dan gen Z dituntut sadar politik agar mau berkontribusi pada tatanan politik Indonesia.

“Peluang ini dimungkinkan semakin besar dengan adanya penetrasi dan kontribusi penggunaan internet yang per tahun 2022 ini saja hampir menyentuh angka 100 persen," ujar Zainuddin Monggilo, dikutip laman resmi UGM, Selasa (15/11/2022). 

Baca Juga: KPU DIY Jamin Hak Pilih Mahasiswa Luar Daerah di Pemilu 2024

Baca Juga: Jadi Dosen UGM, Prilly Latuconsina Beberkan Cara Artis Kelola Krisis  

2. Hoaks informasi politik dapat menjadikan sebuah kesesatan

Ilustrasi hoaks (IDN Times/Sukma Shakti)

Sayangnya, peluang yang besar ini diikuti dengan munculnya gangguan informasi yang berseliweran di jagad digital Indonesia. Isinya yang beraneka ragam berupa misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.

Data Insight Center dalam Survei Literasi Digital Indonesia 2021 mencatat hoaks politik senantiasa mendominasi informasi menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Kondisi ini diperparah dengan adanya polarisasi politik, yaitu momok pascakebenaran (post-truth), efek gelembung (bubble effect/filter bubble), ruang gema (echo-chamber), matinya kepakaran (death of expertise), dan sistem otak yang bekerja lebih emosional (croc brain).

“Bentuk-bentuk tipu muslihat informasi digital tersebut dapat kita lihat melalui iklan-iklan politik dan bisa jadi membawa kita pada kesesatan informasi. Namun, dengan segala ancaman yang ada, saya tetap optimis dan berharap kepada generasi muda untuk menyalurkan suaranya serta mengambil peran dalam melawan hoaks di tahun politik mendatang,” ucapnya.

Baca Juga: Pakar Komunikasi UGM Soroti Perpindahan TV Analog ke Digital 

Berita Terkini Lainnya