TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

17 Tahun Gempa Bumi Bantul, Seumur Hidup Tidak Akan Lupa

Jangan larut dengan kejadian gempa namun harus 'gumegrah'

Potret rumah salah satu warga di Bantul yang hancur akibat gempa bumi 2006.(IDN Times/Daruwaskita)

Bantul, IDN Times - ‎17 tahun silam tepatnya 27 Mei 2006, gempa bumi dengan kekuatan 5,9 SR mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah. Gempa yang berpusat di Padukuhan Potrobayan, Kalurahan Srihardono, Kapanewon Pundong, Kabupaten Bantul menyebabkan ribuan jiwa meninggal dunia. Selain itu, ratusan ribu rumah hingga fasilitas umum hancur akibat goncangan yang berlangsung 57 detik tersebut.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bantul mencatat 6.234 warga meninggal dunia serta ribuan mengalami luka ringan hingga berat bahkan cacat permanen. Mereka menjadi korban akibat tertimpa material bangunan rumah yang roboh akibat lindu.

1. Gempa bumi tak mungkin dilupakan hingga akhir hayat

Ilustrasi. IDN Times/Sukma Shakti

Kini gempa bumi telah genap 17 tahun, tetapi trauma masyarakat Bantul khususnya yang dekat dengan episentrum gempa tak mudah hilang bahkan sampai tua pun tidak akan terlupakan. Salah satu warga yang terdampak gempa bumi adalah Evi Hariyanti warga Kapanewon Bambanglipuro, Kabupaten Bantul. Ia mengaku tak akan melupakan kejadian tersebut meski saat ini trauma sudah nyaris hilang.

"Peristiwa pagi itu, 17 tahun yang lalu tak mungkin saya lupakan, bahkan sampai tua tidak akan lupa," ujarnya, Sabtu (27/5/2023).

Baca Juga: Pewarta Foto Gelar Pameran 17 Tahun Gempa Bumi di Jogja

Baca Juga: Monumen Gempa Potrobayan, 'Tetenger' Gempa Jogja 2006

2. Melahirkan anak pertama sehari setelah gempa bumi‎

ilustrasi bayi (pexels.com/Ryutaro Tsukata)

Evi Hariyanti menambahkan seluruh keluarganya selamat, tetapi seluruh rumah hancur, roboh dan tidak mungkin ditempati lagi. Kepanikan semakin bertambah ketika satu hari pasca gempa dirinya merasakan kontraksi bakal melahirkan anak pertamanya.

"Hari Minggu (28/5/2006), saya dan suami serta keluarga besar hanya tidur di bekas kandang sapi yang sudah tidak terpakai lagi. Dan saat malam hari seusai gempa bumi hujan lebat melanda," katanya.

Karena sudah merasakan kontraksi, Evi mengaku diantarkan oleh anak dari kawan ibu mertua ke rumah sakit ibu dan anak di Bantul untuk melahirkan anak pertamanya. Namun bukan ibu hamil yang banyak ditemui di rumah sakit itu, justru banyak korban gempa tergeletak mengerang kesakitan di rumah sakit khusus ibu melahirkan tersebut.

"Saat saya melahirkan pada Senin (29/5/2006), gempa masih terus mengguncang bahkan isu adanya gempa dengan skala lebih besar akan terjadi. Jadi saat melahirkan itu perasaannya tidak karu-karuan," katanya.

"Tapi akhirnya saya bisa melahirkan anak pertama kami dengan jenis kelamin perempuan. Dan saya tidak akan memberi nama yang terkait dengan gempa karena sebelum lahir saya dan suami sudah menyiapkan nama," jelasnya.

3. Trauma gempa nyaris hilang, tetapi ketika gempa terjadi masih ketakutan‎

Ilustrasi gempa bumi (IDN Times/Sukma Shakti)

Evi mengaku saat ini anak pertamanya sudah menginjak kelas 2 SMA dan akan segera merayakan ulang tahun ke 17. Hanya, kejadian 17 tahun silam tidak akan terlupakan sepanjang hidup. 

"Kalau trauma sudah nyaris hilang, namun tetap saja ketika ada gempa tetap masih ketakutan meski rumah sudah konstruksi tahan gempa," ujarnya.

Baca Juga: Mahasiswa UNY Ciptakan Batu Bata Tahan Gempa dari Ampas Tebu 

Berita Terkini Lainnya