Tradisi Kenduri di Masyarakat Jawa Tetap Lestari hingga Saat Ini

Kenduri merupakan salah satu tradisi di Jawa yang dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Tradisi ini sebagai bentuk ungkapan syukur sekaligus doa bersama yang diadakan seseorang ketika mempunyai hajat tertentu, seperti kelahiran bayi, pernikahan, maupun harapan untuk memohon keselamatan.
Tuan rumah yang punya hajat akan mengundang warga sekitar, terutama kepala keluarga untuk berkumpul dan berdoa. Ketika kepala keluarga berhalangan hadir, akan digantikan oleh anak laki-laki.
Tradisi ini masih lestari, namun ada perkembangan dari masa ke masanya. Seperti apa kenduri pada zaman dulu dan sekarang, serta apa saja manfaatnya?
1.Waktunya pelaksanaan lebih fleksibel

Tradisi yang mengakar kuat di masyarakat Jawa dengan mengundang tetangganya untuk doa bersama mampu mempererat hubungan sosial. Terdapat nilai sosial untuk saling membantu dalam doa. Kenduri juga kerap jadi forum diskusi warga setempat, ketika sudah berkumpul mereka saling berbagi cerita tentang beragam hal.
Dulu, kenduri dilaksanakan malam hari setelah pukul tujuh. Seiring perkembangan zaman, waktunya lebih fleksibel, seperti yang disampaikan Bayuadhy dalam bukunya Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa, tak hanya malam hari, kendurian bisa dilakukan sore, bahkan di siang hari, tergantung kebutuhan dan kesepakatan tuan rumah.
Meski begitu, perubahan waktu ini membawa tantangan. Kenduri yang dilaksanakan saat siang atau sore hari, maka jumlah undangan yang hadir cenderung lebih sedikit, karena sebagian besar warga masih sibuk bekerja. Ini jadi tantangan untuk tetap mempertahankan tradisi kenduri di tengah pola kehidupan modern.
2.Berkat kenduri sebagai simbol kepedulian

Ciri khas lainnya tradisi ini yaitu saat pulang, para tetangga membawa berkat, yaitu bingkisan makanan yang berisi nasi, lauk pauk, dan sayuran. Bagi undangan yang gak bisa hadir karena ada keperluan lain, tetap mendapatkan berkat, yang biasanya dititipkan ke tetangga terdekat, atau diantarkan langsung oleh tuan rumah.
Setiap tetangga akan mendapat berkat, baik yang hadir maupun berhalangan, asalkan di rumah ada istri atau anak yang bisa menerima. Ini mencerminkan nilai kepedulian di kehidupan sosial.
Alasan warga menghadiri kenduri juga bukan semata meenrima berkat, namun rasa iklas ikut berdoa untuk kebaikan yang memiliki hajat. Ini juga momen untuk mengetahui kabar terbaru dari tuan rumah, apakah sedang bersyukur atas berkah yang diterima, atau berdoa untuk keselamatan keluarganya.
3.Kenduri masa kini juga jadi tradisi masyarakat kota

Dulu, kenduri lebih dikenal sebagai tradisi masyarakat desa, kini juga jadi bagian budaya masyarakat perkotaan. Tujuannya sama, tapi ada beberapa perbedaan karena menyesuaikan kondisi dan kebiasaan.
Di desa, sajian makanannya adalah hidangan khas tradisional dengan lauk seperti ayam ingkung, urap, nasi putih. Sementara di kota, menunya bisa beragam menyesuaikan preferensi tuan rumah.
Biasanya berkat dibungkus menggunakan daun pisang, ada pula yang menggunakan besek, yaitu wadah yang terbuat dari anyaman bambu. Kini di kota dan beberapa daerah pedesaan, wadah berkat mengalami perubahan, yaitu menggunakan plastik maupun kotak makanan modern yang lebih praktis.
Selain itu, ujup atau doa yang dipanjatkan oleh pemimpin kenduri juga sedikit berbeda. Di desa masih menggunakan bahasa Jawa, sedangkan di perkotaan kerap menggunakan Bahasa Indonesia, serta lebih singkat karena menyesuaikan waktu dan kondisi tamu undangan yang hadir.
4."Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata" dalam tradisi kenduri

Di setiap daerah, kenduri memiliki cara dan aturan yang berbed, saalah satunya adalah bentuk berkat. Di beberapa tempat, berkat diberikan dalam wujud sudah dimasak seperti nasi, lauk pauk, aneka kue dan jenang. Sementara daerah lainnya, berupa bahan mentah seperti beras, minyak goreng, mi instan, kopi bubuk, kue kering, dan buah-buahan.
Keberagaman ini mencerminkan falsafah Jawa Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata, artinya setiap daerah punya cara dan aturan masing-masing yang harus dihormati. Ini jadi pedoman masyarakat Jawa, bahwa perbedaan yang masih dalam batas wajar janganlah dipertentangkan hingga muncul konflik, tetapi justru sebagai hal-hal yang memperkaya budaya.
Sikap menerima dan saling menghargai dalam memandang perbedaan ini mampu menciptakan kerukunan. Seperti dijelaskan Franz Magnis Suseno dalam bukunya Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, masyarakat yang berpegang teguh pada semangat kerukunan, maka akan menciptakan suasana damai dan harmonis.
Dengan sikap saling menerima dan menghargai, hubungan antarmasyarakat akan semakin kuat. Adanya perbedaan pelaksanaan kenduri lahbukan sesuatu yang perlu dipersoalkan selama sesuai norma sosial.
5.Manfaat yang didapat dari kenduri

Kesibukan kerap membuat hubungan antartetangga jadi renggang. Melalui kendurian, warga memiliki kesempatan berkumpul, bertemu, dan saling berbincang akrab.
Berkat yang didapat juga bermanfaat bagi penerima beserta keluarganya di rumah. Bagi yang punya hajat juga dapat berkah, karena punya sisi peduli untuk berbagi kebahagiaan kepada orang-orang di sekitarnya.
Kehadiran para tetangga yang ikut mendoakan tercapainya keinginan tuan rumah menjadi tanda dukungan. Pemilik hajat merasa dihargai dan senang karena tetangganya peduli, serta bersedia meluangkan waktu untuk datang kendurian di rumahnya. Ini memperkuat rasa persaudaraan di lingkungan masyarakat.
Kenduri memang telah mengalami perubahan, tapi nilai-nilai utamanya masih sama dan tetap lestari. Di tengah kehidupan modern, dimana tiap individu punya kesibukan masing-masing, tradisi ini masih mampu menjadi penghubung antarwarga dengan melakukan kegiatan doa bersama.