Mahasiswa UGM Olah Limbah Plastik Jadi Furnitur

- Dua mahasiswa UGM, Alan Putra Wijaya dan Muhammad Fikri Iedfi Darmawan, merintis startup Renou yang mengolah limbah plastik HDPE menjadi furnitur.
- Tantangan terbesar ada pada kebutuhan bahan baku, di mana satu produk memerlukan 10–11 kg tutup botol plastik, namun residu tetap diolah agar tidak menimbulkan limbah baru.
- Meski sulit menyeimbangkan kuliah dan bisnis, keduanya berharap Renou bisa menginspirasi generasi muda serta mendorong kolaborasi lintas sektor dalam pengelolaan sampah.
Yogyakarta, IDN Times – Masalah sampah di Yogyakarta terus mendorong lahirnya gerakan anak muda yang peduli lingkungan. Salah satunya melalui Renou, startup rintisan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengubah limbah plastik menjadi produk mebel.
Dalam UGM Podcast, Jumat (22/8/2025), dua mahasiswa UGM yakni Alan Putra Wijaya dari Program Studi Manajemen FEB UGM dan Muhammad Fikri Iedfi Darmawan dari Program Studi Teknik Infrastruktur Lingkungan FT UGM, membagikan perjalanan mereka merintis Renou. Bisnis ini lahir dari keresahan terhadap krisis sampah yang sempat melanda Yogyakarta.
1. Ide bisnis muncul dari tugas kuliah dan keresahan lingkungan

Renou fokus mengolah limbah plastik jenis High-Density Polyethylene (HDPE) yang biasa ditemukan pada kemasan deterjen, sampo, hingga botol plastik. Alan menjelaskan ide ini muncul saat dirinya mendapat tugas kuliah di semester empat, bertepatan dengan kabar krisis sampah di Yogyakarta.
“Waktu itu ada program kemasyarakatan namanya srawung desa, kita belajar di desa pembuatan maggot. Di situlah muncul keinginan untuk ikut mengatasi krisis sampah melalui komunitas masyarakat,” ujar Alan dilansir laman resmi UGM. Ia menyebut inovasi pengolahan sampah sebenarnya banyak hadir dari masyarakat, tetapi industri pengolahan sampah anorganik masih jarang dikenal.
2. Nama Renou lahir dari brainstorming dengan tim

Menurut Alan, nama “Renou” dipilih agar mudah diingat dan berbeda dari istilah umum seperti eco, renewable, atau green. Proses pencarian nama sempat membuat tim kesulitan hingga akhirnya muncul ide modifikasi dari kata “renew”.
“Karena kita sebenarnya bukan orang yang kreatif ya, jadi sempat kebingungan mencari nama. Awalnya renew kita ubah jadi Renou supaya lebih unik,” jelas Alan.
Alan menambahkan, proses menuju bisnis startup membutuhkan riset sekitar empat bulan. Mereka mempelajari jenis plastik, memilah, hingga mencari mitra penyedia limbah yang dapat diolah menjadi produk furnitur.
3. Tantangan: butuh banyak sampah plastik untuk 1 produk

Fikri mengungkapkan bahwa tantangan besar ada pada pengumpulan bahan baku plastik. Jenis yang paling banyak dipakai Renou adalah tutup botol plastik, tetapi jumlah yang dibutuhkan tidak sedikit. “Untuk bikin satu produk itu membutuhkan 10-11 kilogram sampah tutup botol plastik. Tapi kan masih ada botolnya, itu tetap kita kirim ke mitra kami sehingga tidak menghasilkan sampah kembali,” tutur Fikri.
Ia menambahkan, residu dari proses produksi juga diolah kembali menjadi barang lain seperti gelang atau kabinet. Prinsip utama Renou adalah memastikan tidak ada limbah baru yang dihasilkan.
4. Perlu kolaborasi lintas sektor untuk urai masalah sampah

Baik Alan maupun Fikri menegaskan bahwa masalah sampah tidak bisa diselesaikan tanpa kolaborasi lintas sektor. “Pengelolaan mulai hulu ke hilir adalah sebuah kesatuan sistem yang melewati berbagai proses, termasuk dalam diri individu itu sendiri,” ucap Alan.
Kedua mahasiswa ini berharap Renou dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda lain untuk ikut bergerak dalam mengelola lingkungan. Melalui inovasi di bidang pengolahan limbah, mereka ingin menunjukkan bahwa sampah bisa menjadi sumber daya yang bermanfaat.
Alan dan Fikri juga menekankan pentingnya sinergi berkelanjutan antara individu, komunitas, dan industri agar pengelolaan sampah dapat berdampak luas. Mereka optimistis Renou bisa berkembang dan menjadi bagian dari solusi krisis sampah di masa depan.