Kenduri Malem Selikuran, Tradisi Sambut Malam Lailatul Qadar

- Tradisi Kenduri Selikuran dilakukan di malam ke-21 Ramadan
- Kegiatan ini merupakan ritual keagamaan dan budaya lokal
- Masyarakat berdoa bersama, memohon berkah, dan mempererat ikatan sosial
Ramadan selalu membawa nuansa sejuk. Malam menjelang akhir puasa diyakini penuh kemuliaan. Ada tradisi yang sampai sekarang masih dijalani di berbagai daerah Jawa yaitu Kenduri Selikuran. Kegiatan doa bersama untuk menyambut malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Tradisi ini mampu mempererat hubungan sosial masyarakat, sekaligus pengingat akan pentingnya saling berbagi dan memperbanyak ibadah di bulan suci. Mari, telusuri lebih lanjut tentang sejarah hingga pelaksanaan kenduri malem selikuran.
1.Sejarah Kenduri Malem Selikuran

Berasal dari bahasa Jawa, di mana malem artinya malam, dan selikuran berarti dua puluh satu. Maka, tradisi ini mengacu pada malam ke-21 pada bulan Ramadan. Malam yang istimewa dan penuh berkah.
Malam ke-21 Ramadan diyakini umat Islam sebagai malam Lailatul Qadar. Oleh karena itu, masyarakat menyambut malam istimewa ini dengan kegiatan keagamaan dan ritual khas yang dikenal sebagai tradisi kenduri malem selikuran.
2.Ada tumpeng ingkung yang bermakna spiritual

Hadirnya tumpeng ingkung dalam tradisi ini mengandung nilai-nilai spiritual. Menjadi persembahan wujud syukur dan memohon ampunan, serta berkah kepada Yang Maha Kuasa. Menurut Bakri dalam jurnal Tradisi Malam Selikuran Kraton Kasunan Surakarta, ini memiliki nilai budaya yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ayam ingkung menjadi simbol ketaqwaan dan pasrah kepada Tuhan.
3.Proses dan Tempat Pelaksanaan

Tradisi ini terus dilestarikan oleh masyarakat di beberapa tempat. Mengutip laman srihardono.bantulkab.go.id, kendurian rutin dilakukan setiap tahun pada malam ke-21 Ramadan. Waktunya yaitu setelah Maghrib, sebelum salat Tarawih.
Berdasarkan buku Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa, warga yang kendurian datang dengan membawa berkat dari rumah masing-masing untuk didoakan bersama. Tempat pelaksanaannya bisa di masjid, mushola, atau rumah ketua RT maupun tokoh yang bersedia rumahnya untuk kendurian warga.
4.Tradisi yang pantas untuk terus dikenalkan dari generasi ke generasi

Tak hanya sebatas ritual keagamaan, kenduri malam selikuran juga bagian dari budaya lokal yang sudah lama dijalankan. Maka, sudah sepantasnya untuk dijaga dan dikenalkan kepada generasi sekarang dan seterusnya. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur, sekaligus sarana membangun hubungan akrab antarwarga.
Melansir laman desatepus.gunungkidulkab.go.id, kenduri malem Selikuran jadi momen berkumpulnya masyarakat dari beragam kalangan, baik anak-anak, kaum muda, dewasa, hingga orangtua. Acaranya dipersiapkan dengan penuh semangat kebersamaan, sehingga juga menciptakan suasana lingkungan yang harmonis.
Prosesi dipimpin oleh sesepuh setempat atau tokoh agama untuk berdoa bersama, memohon berkah dan kebaikan bagi seluruh masyarakat. Suasana tenang dan khusyuk menyelimuti acaranya. Setelah selesai berdoa, berkat dibagikan sebagai bentuk syukur atas rezeki dan keselamatan.
Melalui kegiatan tradisi rutin tahunan ini, Ramadan semakin berarti dan memberi semangat warga untuk melestarikannya. Sambil memperbanyak ibadah dan perbuatan baik di bulan suci, sambil memperkuat ikatan sosial di tengah kehidupan bermasyarakat.
Tradisi kenduri malem selikuran sekaligus menyampaikan pesan mendalam yaitu Memayu Hayuning Bawono. Alangkah indah dan baiknya ketika semua selaras, antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan makhluk lainnya, serta alam semesta. Dengan tahu lebih banyak tentang ini, maka mari junjung tinggi dan terapkan nilai-nilai luhur di dalamnya sambil terus mengenalkan ke generasi mendatang.