Adisutjipto Dididik Jadi Dokter, Gugur di Udara dalam Tugas Mulia  

Adisutjipto lulus sekolah penerbangan hanya 3 tahun  

Penyematan Agustinus Adisutjipto sebagai nama banda udara di Yogyakarta mempunyai kisah hidup yang panjang.

Berawal dari seorang pemuda biasa bukan keturunan bangsawan, Adisujipto harus menentang keinginan orangtuanya untuk bersikukuh meraih impian terbang di udara dan akhirnya menjadikannya seorang pahlawan nasional.

1. Terkandung doa besar dari nama Adisutjipto

Adisutjipto Dididik Jadi Dokter, Gugur di Udara dalam Tugas Mulia  Ilustrasi Marsda Adisutjipto (IDN Times/Arief Rahmat)

Agustinus Adisutjipto lahir di Salatiga, Jawa Tengah pada 4 Juli 1916 merupakan anak pertama dari lima bersaudara yang semuanya laki-laki.

Adisutjipto merupakan nama yang diberikan oleh orangtuanya, yaitu Roewidodarmo dan R. Ng. Latifatun. Mereka memberi nama Adisutjipto dengan harapan kelak akan menjadi seorang yang baik, luhur, dan berguna bagi nusa dan bangsa.

Menariknya, setelah nama Adisutjipto diberikan datanglah kakeknya yang berasal dari Magelang. Dirinya merupakan pengikut Pangeran Diponegoro. Kehadirannya memberikan tambahan nama pada Adisutjipto yakni Paraban Palgunadi yang diambil dari tokoh pewayangan dimana tokoh tersebut tidak mengikuti perang Bharatayuda, namun meninggal dengan raga yang moksa (bebas). Sedangkan nama Agustinus sendiri didapat setelah Adisutjipto dibaptis.

Baca Juga: Ahmad Dahlan Kerahkan Tenaga hingga Harta Sebarkan Nilai Muhammadiyah 

2. Dididik menjadi dokter, namun keinginannya menjadi penerbang tak terbendung

Adisutjipto Dididik Jadi Dokter, Gugur di Udara dalam Tugas Mulia  Wikipedia.org

Adisutjipto bersekolah di HIS Katolik Muntilan pada sekitar tahun 1920 hingga tahun 1929, lalu melanjutkan ke MULO Katolik St. Louis, di Ambarawa Jawa Tengah. 

Setelah lulus pada tahun 1932, ayah Adisutjipto mendapatkan saran dari direktur MULO St. Louis untuk menyekolahkannya ke sekolah kedokteran. Namun Adisutjipto menolak karena dirinya memiliki impian menimba ilmu di sekolah penerbangan.

Mengetahui hal itu, ayah Adisutjipto menyekolahkannya di Algemene Middelbare School, Semarang. Setelah lulus Adisutjipto memiliki impian untuk bersekolah di sekolah militer Koninklijke Militaire Academie dimana sekolah militer adalah syarat untuk masuk ke sekolah penerbang saat itu.

Sayangnya masuk ke sekolah militer tersebut bukan hal yang mudah karena setiap siswanya harus masuk menggunakan sponsor dari kalangan bangsawan atau sederajatnya. Tentu hal ini tidak dimiliki oleh Adisutjipto.

Sempat mengurungkan niatnya, akhirnya Adisutjipto mengikuti keinginan ayahnya untuk sekolah di Kedokteran Geneeskundige Hogeschool Batavia.

Kendala pendidikan ternyata tak mematahkan impiannya, beruntung Adisutjipto bertemu dengan Abdulrahman Saleh, seorang asisten dosen yang akhirnya menjadi sahabatnya.

Abdulrahman Saleh ternyata orang yang aktif di sebuah klub penerbangan. Hal ini mendorong ehingga Adisutjipto untuk sekali lagi menggali impiannya dekat dengan dunia penerbangan melalui Abdulrahman Saleh.

Beruntungnya pada tahun 1937 di Kalijati, Subang, dibuka sekolah penerbangan yang bisa lebih mudah dimasuki oleh rakyat biasa termasuk Adisutjipto. Saking cintanya dengan dunia penerbangan, Adisutjipto lulus dengan cepat dari sekolah tersebut pada tahun 1940.

Di Kalijati, Adisutjipto berkenalan dengan S. Suryadarma, seorang perwira Akademi Militer. Pada saat itu Suryadarma sedang mengikuti pendidikan Penerbangan Militer Angkatan Udara. Persahabatannya dengan Suryadarma berlanjut hingga membangun Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Dari sini mulailah karier Adisutjipto sebagai penerbang yang sesungguhnya.  

Pada tahun 1939 Adisutjipto ditempatkan pada Skadron Pengintai dan diangkat menjadi ajudan seorang pejabat bernama Kapten Clason, dan kemudian berpindah ke Yogyakarta saat revolusi meletus.

 

3. Kemahirannya dalam dunia penerbangan mendorongnya mendirikan sekolah penerbangan

Adisutjipto Dididik Jadi Dokter, Gugur di Udara dalam Tugas Mulia  Pexels/Nur Andi Ravsanjani

Tak hanya mencari ilmu penerbangan saja, perjuangan Adisutjipto terhadap dunia pendidikan penerbangan di Indonesia semasa pendudukan Jepang membuat dirinya ingin membentuk sekolah penerbangan.

Berbekal pangkalan udara di wilayah Maguwoharjo hasil perebutan dengan tentara Jepang yang menyerah pada penyerangan tanggal 8 Oktober 1945, Indonesia berhasil mengambil alih lapangan penerbangan Maguwo beserta kurang lebih 50 pesawat udara.

Setelah itu Adisutjipto diserahi tugas mengambil alih seluruh material, personel dan instalasi pangkalan udara Maguwo. Akhirnya didirikanlah Sekolah Penerbang Maguwo yang mendidik calon penerbang dari rakyat Indonesia oleh Adisutjipto.

Sekolah ini secara resmi berdiri pada 15 November 1945 dengan tujuan utama menghasilkan penerbang pejuang dalam waktu yang secepat mungkin.

4. Gugur di udara, diberondong peluru tentara Belanda

Adisutjipto Dididik Jadi Dokter, Gugur di Udara dalam Tugas Mulia  Wikipedia.org

Pada masa berkarir di dunia penerbangan, Adisutjipto bersama 9 orang lainnya termasuk rekannya di AURI, Abdulrahman Saleh dan Adisumarmo Wiryokusumo, ditugaskan ke India untuk membawa obat-obatan bagi rakyat Indonesia yang terluka akibat agresi militer Belanda.

Namun sayang, saat kembali ke Indonesia pada 29 Juli 1947 dua pesawat milik angkatan perang Belanda menembak habis pesawat Dakota VT-CLA yang ditunggangi Adisutjipto dan rekan-rekannya saat akan mendarat di lapangan udara Maguwo. Dari kejadian itu hanya satu orang yang selamat, yakni Abdul Gani Handonocokro.

Baca Juga: Sultan HB IX: “Saya Memang Berpendidikan Barat, tapi Tetap Orang Jawa"

5. Diangkat sebagai Pahlawan Nasional dan dikenang sebagai nama bandara di Yogyakarta

Adisutjipto Dididik Jadi Dokter, Gugur di Udara dalam Tugas Mulia  Commons.wikimedia.org

Atas kejadian itu, Adisucipto, Abdulrahman Saleh, dan Adisumarmo ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI. Setiap tanggal 29 Juli diperingati sebagai Hari Bhakti Angkatan Udara.

Selain itu nama ketiga orang tersebut diabadikan sebagai nama bandar udara, yakni Adisutjipto di Yogyakarta sebagai pengganti nama lapangan terbang Maguwo, Abdulrahman Saleh di Malang, dan Adisumarmo di Solo.

Nampaknya doa dari nama Adisutjipto yang diberikan oleh orangtuanya benar-benar terwujud. Dirinya menjadi seorang yang baik, luhur, dan berguna bagi nusa dan bangsa karena banyaknya sumbangsih beliau dalam dunia penerbangan.

Sedangkan kakeknya menyebut Adisutjipto sebagai Paraban Palgunadi. Benar saja, dirinya pun kini abadi karena dikenang sebagai seorang Pahlawan Nasional dan nama bandar udara di Yogyakarta.

Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia.

Kampanye ini didasarkan atas pengalamanan unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di saat mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI bisa dicapai.

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya