Saatnya Menikmati Festival Musik Elektronik dan Eksperimental Gaung 2025

- Program pendidikan dan pengembangan di Gaung 2025, termasuk lokakarya Basic Sound Engineering dan Spatial Audio Framework for Live Performance.
- Lokakarya produksi musik untuk DJ dan produser musik elektronik, seperti Post-Budots Beyond Borders dan kolaborasi antara musisi karawitan Jawa dan musisi elektronik Yennu Ariendra.
- Musik elektronik dan eksperimental tidak kalah populer dengan musik lainnya, namun belum ada acara besar yang menyelenggarakannya. Gaung 2025 akan menghadirkan gelaran yang lebih berkelanjutan.
Yogyakarta, IDN Times – Festival musik elektronik dan eksperimental Gaung 2025 berlangsung pada 11–17 Agustus 2025, dengan program yang tersebar di 10 lokasi di Jogja.
Event ini menjadi wadah pengembangan ekosistem musik elektronik dan eksperimental di Indonesia, dengan dua program utama yaitu Salon Gaung dan Gaung Gumaung.
“Gaung akan menghadirkan lokakarya, pertunjukan, ruang temu publik, serta inisiatif kolaboratif lintas kolektif,” ujar salah satu inisiator dari Gaung 2025, Ari Wvlv, saat konferensi pers di Modular Space Yogyakarta, Rabu (6/8/2025).
Salon Gaung menjadi program pendidikan dan pengembangan kapasitas dalam bidang produksi musik, teknik suara, dan eksplorasi audio, yang digelar di Garasi Performance Institute, Galeri Lorong, dan Komunitas Gayam 16.
Tahun ini, Salon Gaung menghadirkan empat lokakarya, tiga di antaranya terbuka untuk umum yang dirancang untuk menjangkau berbagai latar belakang, dari pemula hingga praktisi.
1. Ini sejumlah program pendidikan dan pengembangan di Gaung

Salah satu lokakarya unggulan adalah Basic Sound Engineering bersama Lauren Squire (OK EG / Naarm), hasil kerja sama dengan Liquid Architecture (Australia). Lokakarya intensif berdurasi 7 jam ini dirancang untuk musisi, kru acara, serta pemula di bidang teknik tata suara yang ingin mempelajari cara merakit dan mengoperasikan sistem PA sederhana. Lokakarya ini dibuka bagi siapa saja, tanpa perlu pengalaman sebelumnya.
“Dengan menghadirkan pengetahuan teknis dalam ruang belajar yang lebih inklusif, kami berharap dapat membuka ruang lebih luas bagi perempuan yang ingin terjun ke bidang teknik tata suara, profesi yang hingga kini masih didominasi oleh laki-laki di Indonesia,” ujar Ari.
Gatot Danar Sulistiyanto, seorang komposer dan seniman bunyi asal Yogyakarta dengan latar belakang musikologi dan elektronika, akan memimpin lokakarya Spatial Audio Framework for Live Performance. Lokakarya ini akan membahas berbagai aspek audio spasial. Meski dirancang terutama untuk musisi, komposer, dan seniman (yang bekerja dengan) bunyi, sound engineer juga dipersilakan untuk mendaftar.
“Dengan dukungan dari warung dimsum Umayumcha dan perusahaan teknologi audio Seruniaudio, kami menyediakan beasiswa bagi empat peserta terpilih yang menunjukkan motivasi dan potensi besar dalam pengembangan karya audio spasial,” ungkapnya.
2. Lokakarya produksi musik untuk DJ dan produser musik elektonik

Di samping lokakarya teknik suara, Gaung juga menyelenggarakan dua lokakarya produksi musik: Post-Budots Beyond Borders, yang dirancang untuk DJ dan produser musik elektronik; serta satu lokakarya kolaboratif antara musisi karawitan Jawa dan musisi elektronik Yennu Ariendra.
Workshop Post-Budots Beyond Borders, yang pertama kali diselenggarakan di CTM Festival di Berlin, akan dipandu oleh seniman dan peneliti asal Filipina Jorge Juan B. Wieneke V (alias similarobjects). Berasal dari skena DJ keliling di Davao City, Budots telah lama hadir sebagai bentuk ekspresi kelas pekerja, budaya remix, dan folklor algoritmik. Lokakarya ini mengundang produser, DJ, penari, peneliti, dan pekerja budaya Indonesia untuk menjelajahi Budots sebagai metode sekaligus metafora futurisme Asia Tenggara. Lokakarya ini diselenggarakan oleh Post Party Syndroma.
3. Musik elektronik dan eksperimental tidak kalah populer

Inisiator Gaung lainnya, Wok the Rock mengatakan saat ini musik elektronik maupun eksperimental tidak kalah populer dengan musik lainnya. Namun, belum ada acara besar yang menyelenggarakannya.
“Jedag-jedug kurang tren apa di TikTok, kemudian disko pantura kan elektronik. NDX itu elektronik juga. Sebenarnya gede, cuman belum pernah ada acara yang besar, cuman DWP tapi sifatnya musik lebih mainstream,” ungkap Wok the Rock.
Ia mengatakan Gaung nantinya tidak hanya menampilkan musik yang mainstream. tetapi juga menghadirkan gelaran yang lebih berkelanjutan. “Tidak hanya konser, tapi pemberdayaan kolektifnya,” ungkapnya.
Wok the Rock menyebut di Jogja banyak musik eksperimental, dan lebih berani dalam menyajikan karyanya. Ia memberi contoh NDX menghadirkan Hiphop dengan paduan Campursari. “Jogja lebih santai, los untuk buat hal baru. Kolektif banyak dan bisa saling kerja sama, sulit ditemui di daerah lain,” ungkapnya.