TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dukung BEM UI, BEM KM UNY Sebut Pemerintah Panik 

Pemerintah dinilai beraksi cepat dengan kerahkan simpatisan 

Meme Jokowi The King of Lip Service yang diunggah di akun media sosial BEM UI (www.twitter.com/@BEMUI_Official)

Sleman, IDN Times - Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) memberikan dukungan kepada BEM Universitas Indonesia (UI), pasca pemanggilan mahasiswa oleh pihak Rektorat UI. 

Ketua BEM KM UNY 2021 Mutawakkil Hidayatullah mengatakan pemerintah dan Rektorat UI panik dengan kritikan yang disampaikan mahasiwa untuk Presiden Joko 'Jokowi' Widodo. 

“Panik, kata yang bisa menggambarkan situasi pemerintah dan rektorat UI saat ini ketika kritik BEM UI atas kinerja pemerintah viral ke permukaan," ungkapnya dalam keterangan tertulis pada Selasa (29/6/2021). 

 

Baca Juga: Aliansi Mahasiswa UGM Sindir Jokowi Juara Ketidaksesuaian Omongan

1. Pemerintah dinilai beraksi cepat dengan mengerahkan simpatisan

Unsplash.com/dadaben_

Mutawakkil menilai pemerintah seperti kebakaran jengot karena langsung bereaksi cepat dengan mengerahkan simpatisan (buzzer). Komentar terhadap BEM UI pun bermunculan dengan alasan tidak etis, kurang tata krama, mahasiswa kok gini, presiden itu simbol negara dan lain sebagainya. Selain itu, juga ada ancaman akan dilaporkan dengan UU ITE.

"Di lain sisi, Rektorat UI juga merespon kritik tersebut dengan memanggil pengurus BEM UI pada hari Minggu sore. Padahal di hari tersebut kampus sedang libur, kenapa tidak menunggu hari Senin saja? Apakah ini bukan sebuah kepanikan?," katanya.

2. Ada pencederaan kebebasan akademik

ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Menurut Mutawakkil, reaksi panik dari simpatisan (buzzer) pemerintah dan Rektorat UI ini menandakan adanya pencederaan kebebasan akademik yaitu kebebasan sebebas-bebasnya di lingkup akademis. Ketika kritik dilontarkan, pemerintah dan rektorat dinilai langsung menggunakan kekuasaannya untuk mengancam kebebasan berpendapat para mahasiswa.

"Hal itu sangat bertolak belakang dengan semangat reformasi. Meskipun reformasi telah berjalan 23 tahun, tetapi kebebasan berpendapat dan berekspresi masih rentan diintervensi jalur represif oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Jika hal ini masih berlanjut, maka lingkup akademik benar-benar darurat akal sehat," terangnya.

Mutawakkil menambahkan, tidak semua penyelesaian persoalan diselesaikan dengan jalur hukum jika hanya terkait ranah kritik dan berpendapat. Hal tersebut dinilai tidak akan menyelesaikan masalah, justru terlihat mengamputasi ranah kebebasan.

"Jika ruang-ruang berpendapat dan berekspresi semakin menyusut, lalu apa lagi yang diharapkan dari kampus sebagai benteng terakhir demokrasi," jelasnya.

Berita Terkini Lainnya