Udin dan Nurhadi, Jurnalis Korban Kekerasan karena Meliput Korupsi
Kekerasan terhadap jurnalis terjadi di setiap rezim
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Sleman, IDN Times - Tak hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dimatikan perlahan. Sejumlah jurnalis yang meliput kasus-kasus korupsi pun tak luput dari ancaman dan kekerasan. Jauh sebelum KPK dan UU Pers lahir, wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin di Bantul dipukul orang tak dikenal hingga koma dan meninggal dunia pada 16 Agustus 1996. Pemberitaan kasus korupsi di Bantul diduga menjadi alasan tindak kekerasan menimpanya.
Yang teranyar, wartawan Tempo Nurhadi di Surabaya disekap dan dipukuli ketika menjalankan tugas jurnalistiknya pada 27 Maret 2021. Dia tengah melakukan konfirmasi perkara suap pajak yang ditangani KPK.
“Ada benang merah antara kasus Udin dan Nurhadi. Sama-sama membongkar kasus korupsi. Keduanya jurnalis investigasi,” kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Shinta Maharani, yang memoderatori diskusi pembukaan pameran Memorabilia Wartawan Udin yang berlangsung 3-10 Mei 2021 untuk memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia di Antologi Collaborative Space, Sleman, 3 Mei 2021 sore.
Kekerasan yang menimpa Udin dan Nurhadi membuktikan kasus kekerasan terhadap jurnalis masih terus terjadi di setiap rezim yang berbeda. Berdasarkan hasil riset AJI Indonesia, angka kekerasan terhadap jurnalis sejak Mei 2020-Mei 2021 mencapai 90 kasus. Jumlahnya meningkat ketimbang tahun sebelumnya, 54 kasus. Sedangkan data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyebut ada 117 kasus. Dan pelaku kekerasan terbanyak adalah polisi.
Baca Juga: Alih Status Pegawai KPK Jadi ASN, UII: MK Salah Kutip Aturan
1. Udin, jurnalis kasus korupsi yang dibunuh di era Orde Baru
Adalah Heru Prasetya, mantan redaktur Bernas yang mengedit berita-berita Udin di halaman daerah. Sore itu, dia berkesempatan membaca ulang dua dari sejumlah potongan berita-berita Udin tentang perkara suap yang diduga dilakukan Bupati Bantul masa itu, Sri Roso Sudarmo. Dia ingin terpilih lagi menjadi bupati kali kedua. Caranya dengan menyuap Yayasan Dharmais milik Presiden Soeharto senilai Rp1 miliar. Zaman itu, siapapun kepala daerah yang terpilih harus mendapat restu presiden.
“Dan ini berita yang pertama (dimuat media massa) di Yogyakarta. Belum ada koran yang menulis, karena itu berita sensitif. Jurnalis yang berani menulis, ya Mas Udin,” papar Heru.
Berita yang dimaksud berjudul “DPRD Bantul Terima Surat Kaleng – Salah Satu Calon Dikabarkan Memberi Bantuan 1 Miliar” yang diterbitkan di koran Bernas pada 29 Mei 1996. Begini cuplikannya:
Persoalan pemilihan Bupati Bantul 1996-2001 makin ramai. Bukan saja diwarnai penolakan Mendagri atas bakal calon yang diajukan DPRD Bantul, Selasa kemarin. Bahkan muncul surat kaleng. Surat kaleng tanpa alamat itu dikirimkan kepada seluruh fraksi DPRD Bantul melalui pos berperangko.
Dalam surat itu disebutkan, bahwa salah satu balon telah memberikan bantuan sebesar Rp 1 Miliar kepada salah satu yayasan yang cukup besar di Jakarta. Karena itulah, pengirim surat kaleng mengharapkan anggota dewan mempertimbangkan kembali pencalonan tokoh yang sudah sangat dikenal di wilayah Bantul.
“Ceritanya, DPRD Bantul sudah mengirim tiga nama balon kepada Presiden melalui Mendagri. Dari tiga nama itu, Mendagri menolak. Tak ada nama Sri Roso di sana,” kata Heru yang terlibat dalam tim wartawan yang menginvestigasi kasus Udin, tim Kijang Putih.
Ada lagi berita berjudul “Bandes: Bupati Bantul Keluarkan Petuah Politik Lagi” yang diterbitkan pada 17 Juli 1996.
“Jadi petuah politik itu bukan yang pertama. Bantuan desa itu untuk memenangkan Golkar,” kata Heru.
Berita itu diterbitkan persis sebulan sebelum Udin dimakamkan, yaitu 17 Agustus 1996. Mengingat Udin dianiaya pada 13 Agustus 1996 dan meninggal dunia pada 16 Agustus 1996. Hingga menjelang 25 tahun kematiannya, kasus kekerasan itu tak juga diusut tuntas.
Sebelum menjadi jurnalis, Udin adalah loper koran. Dan selama menjadi jurnalis, diakui Heru, Udin belum pernah mendapat pelatihan jurnalistik.
“Tapi ketika meliput di lapangan sangat investigatif. Tidak hanya mendengarkan orang, lalu ditulis. Tapi betul-betul masuk ke bawah,” papar Heru.
Baca Juga: Pengujian UU KPK, UII: Peran MK Tak Tampak sebagai Pengawal Konstitusi