Pengujian UU KPK, UII: Peran MK Tak Tampak sebagai Pengawal Konstitusi

UU KPK dinilai bukan direvisi, tapi diganti UU baru

Yogyakarta, IDN Times - Setelah penantian satu tahun lebih, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan judicial review (JR) atau permohonan uji formil dan materiil yang diajukan sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dibacakan pada 4 Mei 2021 lalu. Padahal pengajuannya sejak 7 November 2019 dan mendapat nomor register perkara 70/PUU-XVII/2019.

Pengajuan JR terkait revisi kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 yang dinilai cacat prosedur dan substansi. UII menjadi salah satu institusi yang turut menolak revisi UU KPK yang berlangsung kilat dan memuat pasal-pasal kontroversial itu.

Pengajuan JR diwakili para pemohon, meliputi Rektor UII Fathul Wahid, Dekan Fakultas Hukum UII Abdul Djamil, Kepala Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Eko Riyadi, Kepala Pusat Studi Kejahatan Ekonomi (PSKE) Ari Wibowo, dan Dosen FH UII Mahrus Ali selaku perorangan.

 “Hasilnya, MK menolak pengajuan uji formil dan mengabulkan sebagian uji material secara bersyarat,” kata Ketua Tim Kuasa Hukum UII, Anang Zubaidy dalam siaran pers yang diterima IDN Times pada 5 Mei 2021.

Baca Juga: Ini Kejanggalan UU Cipta Kerja yang Ditemukan PSHK FH UII 

1. UU KPK hasil revisi dinilai cacat formil dan bertentangan dengan konstitusi

Pengujian UU KPK, UII: Peran MK Tak Tampak sebagai Pengawal KonstitusiIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Ada sejumlah alasan UII mengajukan JR. Pertama, UU Nomor 19 Tahun 2019 itu dinilai cacat formil, karena tidak memenuhi prosedur pembentukan undang-undang, melanggar asas partisipasi, keterbukaan, kedayagunaan dan kehasilgunaan.

Kedua, materinya bertentangan dengan konstitusi, UUD 1945. Baik itu terkait independensi, tindakan penggeledahan, penyadapan, dan penyitaan yang harus melalui izin Dewan Pengawas KPK, status kepegawaian KPK yang harus aparatur sipil negara (ASN), serta KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara alias Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3).

2. SP3 dari KPK menyederhanakan prosedur dan persyaratan

Pengujian UU KPK, UII: Peran MK Tak Tampak sebagai Pengawal KonstitusiPito Agustin Rudiana

UII menggarisbawahi permohonan uji material atas Pasal 40 ayat 1 UU KPK hasil revisi yang menyebut kewenangan KPK bisa mengeluarkan SP3 apabila tak selesai menyelesaikannya dalam jangka waktu dua tahun. MK menyatakan pasal itu inskontitusional, tapi bersyarat sepanjang penghentiannya tidak dimaknai terhitung sejak dikeluarkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

“Putusan itu membuat SP3 yang dikeluarkan KPK lebih sederhana dan ringan ketimbang yang dikeluarkan penegak hukum lainnya,” kata Anang.

Padahal KPK adalah lembaga khusus yang menangani tindak pidana yang bersifat extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa. Dengan kewenangan yang besar itu, mestinya persyaratan penggunaan SP3 lebih berat daripada penyidik lain di luar KPK. Sementara berdasar Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), SP3 baru dapat dilakukan dengan alasan limitatif apabila bukan merupakan perbuatan pidana, tak cukup bukti, dan atau dihentikan demi hukum, karena ne bis in idem (perkara yang tidak dapat diadili untuk kedua kali), daluarsa penuntutan, atau terdakwa meninggal dunia.

“Jadi kewenangan KPK ini bertentangan dengan asas kehati-hatian dalam menangani tindak pidana korupsi,” papar Anang.

3. Satu Hakim MK menyatakan dissenting opinion

Pengujian UU KPK, UII: Peran MK Tak Tampak sebagai Pengawal KonstitusiIDN Times/Muhamad Iqbal

Hanya ada satu Hakim MK yang mengajukan dissenting opinion atau pendapat yang berbeda, yaitu Wahiduddin Adams. Dia setuju proses pengesahan UU KPK yang baru itu tidak memenuhi standar akal sehat. Lantaran waktu penyusunan daftar inventaris masalah (DIM) kurang dari 24 jam dan dilakukan saat genting ketika menjelang akhir masa jabatan DPR.

Ada satu pernyataan Wahiduddin yang dinilai perlu diketahui publik sebagaimana digarisbawahi tim hukum UII.

“Saya meyakini dan berpendirian, bahwa seluruh tahapan procedural pembentukan undang-undang secara kasat mata memang telah ditempuh oleh pembentuk undang-undang. Namun yang sejatinya terjadi adalaga hamper padaa tahapan prosedur pembentukan undang-undang a quo terdapat berbagai persoalan konstitusionalitas dan moralitas yang cukup serius,” papar Wahiduddin sebagaimana dikutip dalam siaran pers UII tersebut.   

4. UU Nomor 19 Tahun 2019 tak sekadar merevisi UU KPK, justru membentuk UU baru

Pengujian UU KPK, UII: Peran MK Tak Tampak sebagai Pengawal KonstitusiANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Berdasarkan putusan MK tersebut, sivitas akademika UII menilai, UU Nomor 19 Tahun 2019 bukan lagi sekadar merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

“Justru itu pembentukan undang-undang baru karena telah mengubah fungsi, postur, dan arsitektur KPK secara fundamental,” kata Anang.

MK sebagai the guardian of constitution atau pengawal konstitusi seharusnya mengambil peran strategis untuk menjaga spirit repormasi dan independensi KPK dalam pemberantasan korupsi. Peran itu adalah mengoreksi secara jernih regulasi yang mereduksi kedudukan dan independensi KPK.

“Dan peran itu tak tampak dalam putusan MK yang dibacakan,” kata Anang. 

Baca Juga: Cacat Prosedur, PSHK UII Ajukan Judicial Review UU MK 

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya