TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pukat UGM Yogyakarta Siapkan Judicial Review UU KPK 

Berkoalisi dengan Masyarakat Sipil Antikorupsi

(Ilustrasi KPK) ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Yogyakarta, IDN Times – Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Yogyakarta berencana mengajukan judicial review atas pengesahan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Pengajuan judicial review menyusul telah disahkannya revisi UU KPK menjadi undang-undang dalam rapat paripurna ke-9 oleh DPR pada 17 September 2019 lalu.

“Kami tengah mengkaji UU KPK yang telah direvisi itu,” kata peneliti Pukat UGM Zainurrahman kepada IDN Times, Kamis, 19 September 2019 petang.

Zainurrahman memastikan pihaknya akan mengajukan uji materiil dan uji formil dalam judicial review yang akan diajukan kepada MK.

“Karena kami sudah melihat ada pasal-pasal yang secara diametral bertentangan langsung dengan UUD 1945,” kata Zain.

Baca Juga: Kemelut Revisi UU KPK, Mahfud MD Pilih Jalan Tengah 

1. Ada ketidakpastian hukum dalam KPK

(Orator tengah menyampaikan orasi di depan gedung KPK) IDN Times/Irfan Fathurohman

Uji materiil yang akan diajukan antara lain tidak adanya kepastian hukum dari KPK sebagai lembaga independen sebagaimana diatur dalam UU KPK, tetapi dalam struktur KPK terdapat dewan pengawas yang tidak independen karena orang-orangnya dipilih Presiden.

“Ini jadi persoalan penting, karena KPK jadi tidak pasti. Apakah independen atau dependen terhadap pemerintah,” kata Zain.

2. Proses penyusunan UU KPK melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011

IDN Times/Arief

Sedangkan pengajuan uji formil dengan melihat proses pembentukan UU KPK yang melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Semisal, revisi UU dilakukan tanpa memasukkan terlebih dahulu dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2019. Padahal Pasal 16 UU Nomor 12 Tahun 2011 telah menyebutkan wajib masuk prolegnas, kecuali hal-hal yang dikecualikan dalam Pasal 23 ayat 2.

“Yang dikecualikan itu seperti dalam keadaan bencana atau krisis, atau pun urgensi nasional. Keduanya tidak terpenuhi sehingga ada pelanggaran prosedur,” kata Zain.

Selain itu, juga tidak ada naskah akademik, proses penyusunannya tertutup sehingga melanggar asas keterbukaan, juga tidak membuka ruang partisipasi publik.

Baca Juga: Saut Situmorang Kekeuh tak mau Ungkap Alasan Mundur dari KPK 

Berita Terkini Lainnya