Predator Seksual di Kos-Kosan (2): Janji Kampus Tak Selalu Manis
Permendikbudristek 30 Tahun 2021 dinilai tak cukup
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Yogyakarta, IDN Times - Menjelang akhir 2021, Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Riset Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim, mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Aturan tersebut untuk merespons kasus-kasus kekerasan seksual di kampus yang kerap terabaikan.
Hanya saja untuk kasus kekerasan seksual yang dialami mahasiswa di luar kampus, seperti di kos, lokasi kuliah kerja nyata (KKN), kampus acap kali cuci tangan dengan alasan terjadi di luar kampus.
“Kalau kampus gak bertanggung jawab kan malah bubrah,” kata Direktur Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Defirentia One Muharomah dalam wawancara daring, 12 Januari 2022.
Dan kondisi itu menjadi tantangan yang dihadapi dalam proses advokasi sebelum Permendikbudristek itu lahir. Dan ketika lahir, aturan menteri itu dinilai One tak cukup.
“Harus ada aturan di kampus. Ada inisatif kampus untuk membuat kewenangan dan kewajiban yang lebih detail,” paparnya.
Tim Kolaborasi Liputan Kekerasan Seksual di Indekos yang terdiri dari IDN Times Jogja, Jaring.id, Koran Tempo, Konde.co, dan Suara.com menyusun tulisan: Bagaimana kampus-kampus menyikapinya?
Baca Juga: Predator Seksual di Kos-Kosan (1): Siapa pun Bisa Jadi Pelaku
1. Advokasi korban kekerasan seksual yang berawal dari kepedulian
Sebut saja Laksmi, salah satu dosen perguruan tinggi di Yogyakarta yang merasa berjuang sendiri. Kepeduliannya untuk membantu para korban kekerasan seksual, baik terjadi di kampus maupun luar kampus, tak selalu berjalan mulus. Suatu ketika, upaya mengadvokasi penyintas berbuah sanksi terhadap pejabat yang menjadi pelaku.
“Karena pelaku berisiko terhadap banyak hal, maka saya berani,” kata Laksmi kepada tim kolaborasi, 13 Januari 2022.
Namun, seringnya pihak kampus menyimpulkan kekerasan seksual terjadi karena faktor suka sama suka.
“Meskipun sudah diperjuangkan, endingnya yang menang pelaku,” kata Laksmi.
Bahkan ketika pelaku adalah mahasiswa dan diupayakan membuatnya tak mudah untuk lulus agar mau mempertanggungjawabkan perbuatannya, upaya itu tak didukung pihak kampus. Terduga pelaku justru mendapat dukungan kampus sehingga cepat lulus.
Kondisi tersebut, menurut Laksmi tak terlepas dari budaya patriarki di kampus. Seperti nama baik kampus. Tak heran, ketika mahasiswa mulai menunjukkan atensi terhadap kasus-kasus kekerasan seksual di kampus, mendiskusikannya, dan memperjuangkannya, Laksmi sangat mendukung.
“Saya ini nobody. Hanya dosen yang peduli. Karena one is too much. Satu (korban) pun harus dicegah,” tegas Laksmi.
Dan perjuangan Laksmi banyak mendapat tantangan. Berbagai ancaman pernah didapatkan dan Laksmi berusaha melupakan.
“Saya dianggap orang yang gak mau kompromi. Karena itu, saya gak disukai. Itu risiko saya,” kata Laksmi.
Baca Juga: Tim Investigasi Temukan Bukti Perkosaan, UMY Pecat Mahasiswa MKA
Baca Juga: Kekerasan Seksual pada Anak Tak Selalu Tinggalkan Luka, Tapi Trauma