Kekerasan Seksual pada Anak Tak Selalu Tinggalkan Luka, Tapi Trauma

Orang dewasa selalu memanfaatkan relasi kuasa atas anak

Yogyakarta, IDN Times - Pada 2020, berdasarkan data Women Crisis Center Rifka Annisa, terhitung ada sekitar 50-an kasus kekerasan terhadap anak usia 0-18 tahun yang terjadi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sejak pandemik COVID-19, pelaku tren kasus tersebut lebih banyak dilakukan oleh keluarga dekat korban ketimbang orang lain di keluarganya. Seperti ayah, paman, atau kakeknya.

Namun pelaporan yang dilakukan korban atau walinya cenderung tak sebanyak ketika sebelum pandemik. Pertama, karena keterbatasan kemampuan anak untuk melapor. Kedua, tak banyak anak atau wali yang tahu, bahwa pelaporan bisa dilakukan secara online. Ketiga, anak tidak bisa leluasa bercerita ketika melapor melalui telepon, misalnya.

“Takut kedengaran pelaku yang ternyata satu rumah dengan korban,” kata Konselor Psikologi Rifka Annisa, Amalia Rizkyarini, saat dihubungi IDN Times, Jumat (29/10/2021).

Baca Juga: Pria Asal Bantul Perkosa Anak Pacarnya hingga 17 Kali Selama Setahun

1. Anak-anak sering diberi iming-iming, sekaligus diancam

Kekerasan Seksual pada Anak Tak Selalu Tinggalkan Luka, Tapi TraumaIlustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Sukma Shakti)

Mengapa anak-anak yang menjadi korban tidak mempunyai keberanian untuk melapor?

Modus-modus yang biasa dilakukan pelaku terhadap korban adalah dengan iming-iming imbalan berupa uang jajan atau mainan. Namun usai pelaku melakukan perbuatan bejat mencabuli korban, kemudian korban diancam apabila melapor kepada ibu, nenek, atau pun orang yang bisa memberikan perlindungan kepadanya.

Semisal, anak yang diperkosa ayahnya diancam akan dimasukkan ke dalam sumur apabila melapor kepada ibunya. Atau pelaku mengancam akan membunuhnya.

“Anak merasa takut dan memilih tidak bercerita atau melapor. Kasus pun baru terungkap beberapa bulan kemudian,” kata Amalia.

2. Dalam relasi kuasa, posisi anak lemah

Kekerasan Seksual pada Anak Tak Selalu Tinggalkan Luka, Tapi TraumaIlustrasi kekerasan pada perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Tak sedikit pula, pelaku adalah gurunya di sekolah. Mengingat dalam relasi kuasa, anak selalu dianggap pihak yang lemah sehingga harus mendapat pengawasan atau kontrol dari orang dewasa. Sementara, orang dewasa pun menyalahgunakan peran dan posisinya sehingga acap kali menjadi pelaku, ketimbang menjadi pelindung.  

“Ketika korban adalah orang yang lemah, seolah pelaku yang dewasa berhak melakukan apapun terhadap dirinya. Kan enggak seperti itu,” kata Amalia.

Sementara pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak usia remaja adalah pacarnya atau kekerasan seksual dalam relasi hubungan dalam pacaran.

3. Tak semua korban kekerasan seksual mau lapor polisi

Kekerasan Seksual pada Anak Tak Selalu Tinggalkan Luka, Tapi TraumaIlustrasi kekerasan Anak (IDN Times/Sukma Shakti)

Langkah awal yang dilakukan orang tua atau wali dari anak korban kekerasan seksual adalah segera melapor ke lembaga layanan terdekat, seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang ada di setiap kabupaten dan kota. Atau melalui lembaga-lembaga pendampingan lainnya, seperti Rifka Annisa.

“Karena tidak semua korban atau keluarganya ingin kasus tersebut dilaporkan ke polisi,” kata Amalia.

Sementara korban pun masih usia anak sehingga belum bisa dinyatakan cakap hukum sehingga berada di bawah perwalian. Proses hukum pun membutuhkan waktu tak sedikit, serta fisik dan psikis yang baik. Korban dan keluarganya membutuhkan pendampingan atau kuasa hukum untuk menempuhnya.

Baca Juga: Pria asal Yogyakarta Cabuli Remaja Laki-laki di Bawah Umur

4. Lekas periksaan anak secara medis

Kekerasan Seksual pada Anak Tak Selalu Tinggalkan Luka, Tapi Traumailustrasi konsultasi dengan psikolog atau psikiater (freepik.com/Racool_studio)

Lantaran masih anak, lekaslah memeriksakan kondisi seluruh tubuh anak ke rumah sakit atau puskesmas untuk mengecek dan mengobati luka-luka yang dialami anak. Mengingat proses regenerasi sel pada anak lebih cepat dalam proses penyembuhan luka.

“Jadi memilih puskesmas atau rumah sakit, karena kedua lembaga layanan kesehatan itu ada catatan rekam medisnya,” kata Amalia.

Pemeriksaan medis terhadap korban tersebut berbeda dengan visum et repertum yang diminta kepolisian. Pemeriksaan medis bisa langsung dilakukan atas permintaan orang tua atau wali atau korban, sedangkan visum harus disertakan surat dari kepolisian. Visum dilakukan usai ada laporan ke polisi.

5. Tak semua kekerasan meninggalkan luka, melainkan trauma

Kekerasan Seksual pada Anak Tak Selalu Tinggalkan Luka, Tapi TraumaIlustrasi trauma (pexels.com/Pixabay)

Rekam medis itu diperlukan untuk mengetahui jejak kekerasan seksual terhadap anak, meskipun luka fisik kelak sudah sembuh.

Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan ada kekerasan seksual berupa perobekan pada vagina, maka bisa diperkuat dengan pemeriksaan dokter ahli kandungan. Sementara kekerasan seksual yang dialami anak-anak di bawah usia 12 tahun, misalnya, tidak selalu berupa penetrasi. Bisa juga berupa fingering, mencium, atau meraba tanpa menunjukkan bekas fisiknya.

“Orang kan suka salah paham. Karena tidak ada bekas luka, dianggap tak ada kekerasan. Kekerasan kan tidak selalu meninggalkan luka,” kata Amalia.

Langkah selanjutnya adalah melakukan visum et psikologikum untuk melihat dampak psikologis terhadap korban. Yang melakukan pemeriksaan adalah psikolog yang memberikan hasil visum berdasarkan hukum.

“Yang penting adalah kondisi mental usai kejadian,” kata Amalia.

6. Dukungan keluarga mempercepat anak pulih dari trauma

Kekerasan Seksual pada Anak Tak Selalu Tinggalkan Luka, Tapi TraumaIlustrasi Keluarga (IDN Times/Mardya Shakti)

Upaya pemulihan trauma terhadap anak-anak korban kekerasan seksual bisa merujuk ke psikolog-psikolog di puskesmas. Mengingat hampir semua puskesmas di DIY, terutama di Yogyakarta, Sleman, dan Bantul sudah menyediakan layanan psikologi.

Cepat tidaknya proses pemulihan bergantung kondisi anak, kemampuan anak untuk pulih, dan dukungan dari keluarga. Mengingat keluarga acap kali lepas tangan usai memastikan anaknya sudah mendapat penanganan oleh ahlinya.

“Justru dukungan untuk pulih itu dari support keluarga. Jadi anak jangan malah dimarahi, misalnya kenapa kamu gak lari, gak teriak,” kata Amalia.

7. Tak semua polisi lakukan visum et psikologikum

Kekerasan Seksual pada Anak Tak Selalu Tinggalkan Luka, Tapi TraumaIlustrasi psikolog (freepik.com/pressfoto)

Sementara ketika anak atau orang tuanya melaporkan ke kepolisian, tak serta merta penanganan kasus kekerasan seksual pada anak akan tertangani lebih baik. Ada beberapa hambatan selama dalam prosesnya.

Misalnya, ketika hasil visum et repertum menyatakan tak ada bekas luka karena sudah sembuh atau karena tidak mengalami luka, tak semua polisi melanjutkan pada upaya lain, yaitu melakukan visum et psikologikum. Lantaran tak menutup kemungkinan anak mengalami trauma.

“Dan kayaknya enggak semua polisi paham soal visum et psikologikum itu. Apalagi di polsek-polsek,” kata Amalia.

Baca Juga: Pria di Sleman Perkosa 2 Anak Kandungnya Selama 8 Tahun

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya