Perempuan Anti Korupsi Yogyakarta: Presiden Wajib Tolak Revisi UU KPK!
Akses desakan kepada Presiden dipersulit
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Yogyakarta, IDN Times – Desakan penolakan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus digaungkan. Perempuan Anti Korupsi (PIA) Yogyakarta turut serta dalam gerakan ini dan mengingatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang harus diberantas.
“Presiden Joko Widodo wajib menolak revisi UU KPK. Kalau tidak, pemberantasan korupsi dan penegakan hukum di Indonesia akan mati,” kata Koordinator PIA Yogyakarta, Dyah Roessusita saat dihubungi IDN Times, Rabu (11/9).
Ada sembilan poin alasan PIA Yogyakarta menolak revisi UU KPK yang dinilai akan melemahkan kewenangan, tanggung jawab dan independensi KPK. Di dalamnya juga termasuk kekhawatiran karena KPK tidak lagi bisa mengangkat penyidik dan penyelidik independen, pembentukan dewan pengawas, kewenangan penyadapan oleh KPK harus seizin dewan pengawas, serta KPK dibuat menjadi tidak independen.
Rencananya, PIA akan menyampaikan pernyataan sikap yang ditandatangani 59 aktivis tersebut kepada Jokowi.
“Meskipun akses untuk menyampaikan desakan kepada Presiden sulit. Terkesan diabaikan. Media massa menjadi salah satu solusi,” kata Dyah.
Mereka juga akan bergabung dalam aksi masyarakat sipil, dosen, mahasiswa di berbagai perguruan tinggi yang direncanakan digelar serentak di sejumlah daerah di Indonesia pada 12 September 2019.
Berikut poin-poin lain dari rencana revisi UU KPK yang disoroti PIA Yogyakarta:
Baca Juga: Di Yogyakarta, ada Massa Pendukung Revisi UU KPK
1. KPK tidak bisa membuka kantor perwakilan di seluruh Indonesia
Padahal dalam UU KPK ditegaskan KPK dapat membentuk perwakilan di setiap provinsi. Upaya tersebut menjadi salah satu solusi pengungkapan kasus-kasus korupsi di daerah menjadi efektif dan efisien.
“Bukankah kasus-kasus korupsi tersebar di seluruh Indonesia?” tanya Dyah.
Bahkan KPK juga dibatasi waktu hanya menangani satu perkara dalam satu tahun. Padahal setiap perkara korupsi memiliki ragam kompleksitas yang membutuhkan waktu panjang untuk menyelesaikannya.
Baca Juga: Independensi KPK Terancam, UII Yogyakarta Tolak Revisi UU KPK