TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pembangunan dan Sampah Plastik Sumber Terbesar Climate Change di Jogja

Solusinya tidak perlu menggunakan plastik

IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Sleman IDN Times – Berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika  (BMKG) DIY musim penghujan 2019 ini diprediksi mundur hingga awal November mendatang.

Kondisi tersebut sejalan dengan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menyebutkan 90 persen bencana yang terjadi pada 2018 lalu karena bencana hidro meteorologi atau bencana yang dipengaruhi faktor cuaca.

“Ini dampak dari climate change alias perubahan iklim. Mestinya suhu normal itu 1,5 derajat Celcius,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta Khalik Sandera dalam diskusi bertajuk Menyikapi Perubahan Iklim di Indonesia yang digelar Jaringan Masyarakat Peduli Iklim (Jampiklim) DIY di Convention Hall Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jumat (13/9).

Di beberapa daerah yang banyak melakukan aktivitas pertambangan untuk menggali sumber-sumber energi fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas bumi sebagai sumber energi, mengakibatkan sejumlah masalah mengingat energi fosil penyumbang emisi CO2 hingga 40 persen.

“Kalau di DIY, sumber persoalan lingkungan dari pembuangan sampah yang menghasilkan gas metana (penyebab kenaikan suhu bumi),” kata Khalik. Selain itu sejumlah proyek pembangunan yang terus dilakukan di Yogyakarta tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan, turun menyumbang perubahan iklim.

Khalik mencontohkan pembangunan apartemen, hotel, pusat perbelanjaan, dan bandara penyumbang kenaikan suhu bumi. 

Baca Juga: Apa Kata Media Jerman dan Internasional Soal BJ Habibie?

1. Yogyakarta sebagai kota pariwisata dan pendidikan menjadi penyumbang banyak sampah

IDN Times/Dhana Kencana

Banyaknya pendatang yang sekadar singgah untuk berwisata atau pun menetap sementara guna melajutkkan studi turut menjadi faktor penyumbang sampah. Terutama sampah plastik yang sulit diurai.

Salah satu contoh, mahasiswa akrab mengonsumsi mi instan yang dikemas dalam plastik atau minuman botol plastik.

“Bayangkan jika satu orang mahasiswa tinggal di Yogyakarta selama 3,5 tahun – 7 tahun, berapa jumlah sampah yang telah dihasilkan? Berapa gas metana yang diproduksi?” tanya Khalik.

Jumlah itu ditambah dengan jumlah mahasiswa ditambah penduduk Yogyakarta sendiri. Sementara Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) di Piyungan, Kabupaten Bantul kelebihan muatan.

“Kalau ada angin kencang, bau sampah di Piyungan sudah tercium dalam jarak lima kilometer,” kata Khalik.

2. Banyak orang tak percaya perubahan iklim itu ada

unsplash.com/Jon Tyson

Meskipun saat  ini suhu bumi sangat panas, ternyata tak sedikit orang tak percaya adanya perubahan iklim. Hal ini disampaikan olehDosen Lingkungan Perairan dan Konservasi Lingkungan Program Studi Biologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Eka Sulistyowati.

"Ternyata tak sedikit orang yang tak percaya ada perubahan iklim. Ada saja pendapatnya. Semisal, ketika di suatu daerah tengah musim kemarau, ternyata di daerah lain curah hujan tinggi. Kemudian suhu udara pun turun, terbukti pada malam hingga pagi hari sangat dingin.Ada salah pikir,” kata Eka.

Dia menjelaskan, kenaikan suhu memang tidak ekstrem karena hanya meningkat sekitar 0,5 derajat Celcius, tetapi sangat berasa bagi tumbuhan.

Dia mencontohkan, usai musim salju tumbuhan akan bersemi seiring datangnya cahaya matahari. Tumbuhan akan berbunga, berbuah dan berhenti ketika musim dingin tiba.

“Kalau musim kemarau dan penghujan di suatu daerah terganggu, tentu terganggu pula siklus hidup tumbuhannya,” kata Eka.

Baca Juga: Indonesia Penghasil Sampah No 5 Dunia, KSOP Bersihkan Sampah di Pantai

Berita Terkini Lainnya