TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Lala, Mahasiswa ABK Ber-IQ 145 Ingin Jadi Pekerja Sosial 

ABK gifted belum familiar di Indonesia

Pito Agustin Rudiana

Sleman, IDN Times – Namanya Lala. Panggilan kesayangan untuk gadis bernama panjang Maria Clara Yubilea Sidharta. Sosoknya menjadi buah bibir usai diwisuda sebagai Sarjana Pendidikan Bahasa Jerman Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada penghujung Agustus 2019 lalu. Gelar itu sekaligus melengkapi kemampuannya sebagai sarjana yang menguasai empat bahasa. Yaitu bahasa Inggris, Perancis, Jepang, kemudian Jerman.

Tak hanya itu. Usianya pun tergolong muda sebagai seorang wisudawan, yaitu 19 tahun. Lala yang masuk kuliah pada 2015 itu juga berhasil lulus dengan nilai Cumlaude.

“Dan saya berkebutuhan khusus. Tepatnya gifted,” kata Lala saat didampingi ibunya, Patricia Lestari Taslim, 48 tahun menjawab sejumlah pertanyaan wartawan di Ruang Senat Utama UNY, Selasa (3/8). 

Bagi Patricia, Lala laksana batu akik. Ketika batu akik masih terkubur di dalam tanah, kotor, dan bau, orang takkan mau memakai. Begitu juga saat batu itu diletakkan di atas meja, tak semua orang tertarik. Namun setelah batu akik itu dipoles barulah kelihatan keindahannya.

“Seperti itulah gifted,” kata Patricia.

Baca Juga: UNY Beri Sultan Gelar Doktor Honoris Causa 

1. Apa itu gifted?

think.kera.org

Istilah gifted diakui Lala dan Patricia masih asing dalam perbincangan masyarakat Indonesia. Bahkan tak banyak yang mengetahui gifted masuk kategori anak berkebutuhan khusus (ABK). Laiknya sebuah kurva, Patricia menjelaskan, anak non-ABK berada di tengah. Sementara sisi kiri dan kanan adalah ABK.

“Nah, gifted itu masuk kurva kanan. Sulit dikenali. Kalau ABK umumnya masuk kurva kiri yang bisa dikenali dari tingkah dan kondisi fisiknya,” papar Patricia.

Gifted sulit dikenali karena berkaitan dengan kondisi otaknya, yaitu cara kerja otak, pola pikir, kedewasaan psikologis yang melebihi teman-teman seusianya. Salah satunya penyebabnya adalah faktor genetik, meskipun juga ada pengaruh dari lingkungannya.

Patricia mencontohkan ketika Lala melakukan tes intelegensi (IQ) terakhir pada 2017 dengan hasil 145, ternyata hasilnya setara dengan kecerdasan psikologis yang dimiliki orang yang berusia 24 tahun. Padahal Lala masih berusia 17 tahun kala itu. Dampaknya, Lala mengalami kesulitan berhubungan dengan orang lain karena ada perbedaan kedewasaan dalam berkomunikasi.

“Jadi bukan kesulitan berkomunikasi. Bukan pula terlalu cepat dewasa. Tapi pola pikirnya terlalu dewasa untuk orang dengan usia biologis seperti dia,” kata Patricia.

Dia pun mencontohkan. Suatu ketika Lala memprotes cara mengajar dosennya yang membuatnya tak nyaman. Lantaran si dosen malah bergosip di dalam kelas.

“Isinya gak mendidik sama sekali,” kata Patricia menirukan pernyataan Lala.

Obrolan Lala dengan ibunya, lanjut Patricia, bukanlah obrolan anak 17 tahun. Melainkan bahan pembicaraan untuk anak yang biasanya di atas usianya.

“Kalau anak 17 tahun biasanya mau saja gosipin pacarnya atau gurunya. Tapi Lala malah memprotes karena merasa tidak nyaman,” kata Patricia.

Dan Patricia baru mengetahui anak semata wayangnya adalah gifted ketika Lala berusia 13 tahun. Gara-gara Lala mogok sekolah karena merasa tak nyaman belajar di sekolahnya.

2. Kalau mood tak bagus, Lala mengurung diri di kamar

Google

Lantaran merasa kewalahan mengikuti pola pikir Lala, Patricia pun memutuskan melanjutkan pendidikan S2 untuk program Pendidikan Luar Biasa (PLB) di UNY pula. Dari sanalah, Patricia memperdalam ilmu tentang gifted.

“Banyak hal tentang gifted yang minim infonya. Dengan belajar (S2 PLB) ini dapat info,” kata Patricia yang mengikuti wisuda berbarengan dengan Lala yang juga sama-sama menyandang predikat Cumlaude.

Salah satu persoalan yang cukup serius adalah semakin tinggi IQ seorang gifted, semakin besar pula masalahnya. Baik dalam hal pendidikan dan bersosialisasi di lingkungannya.

“Karena anak gifted itu swing mood. Moody, suka berubah-ubah,” kata Patricia.

Dalam sebuah kasus seorang anak gifted yang mempunyai kemampuan IQ lebih tinggi dari Lala ternyata mempunyai kesulitan mengendalikan emosinya.

“Kalau merasa gak cocok, dia langsung melakukan serangan fisik,” kata Patricia.

Beruntung, pelampiasan Lala ketika sedang tidak mood tidaklah demikian. “Ngumpet di dalam kamar, sambil dengerin musik atau ngapain yang bikin tenang. Itu pun cuma sebentar kok hanya 10-20 menit,” kata Lala.

Baca Juga: Frasa “Sexual Non Marital” Dihilangkan dari Judul Disertasi UIN Sunan 

Berita Terkini Lainnya