TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

CfDS UGM Edukasi Ratusan Mahasiswa tentang Fintech

Gandeng OJK dan ALAMI Sharia

Digitalk dengan tema 'Strategi Cerdas Berinvestasi: Memahami Risiko dan Peluang Bisnis dalam Peer-to-Peer Lending di Indonesia'. (Dok. Istimewa)

Yogyakarta, IDN Times - Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada (CfDS UGM) menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Fintech ALAMI Sharia (ALAMI) menyelenggarakan Digitalk dengan tema 'Strategi Cerdas Berinvestasi: Memahami Risiko dan Peluang Bisnis dalam Peer-to-Peer Lending di Indonesia'. Gelaran ke-57 ini diselenggarakan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) membahas secara komprehensif terkait perkembangan fintech khususnya peer-to-peer (P2P) lending yang semakin diminati masyarakat dan mendesaknya proses edukasi bagi masyarakat sehingga dapat terhindar dari risiko-risikonya.

Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa tingkat literasi keuangan di Indonesia meningkat di tahun 2022 yakni 49,68 persen dibandingkan 2019 yang hanya 38,03 persen. Hal sama juga terjadi pada indeks inklusi keuangan, yang meningkat menjadi 85,10 persen dari tahun 2019 sebesar 76,19 persen.

Meskipun gap atau selisih indeks literasi dan inklusi keuangan mengecil, namun literasi finansial harus tetap ditingkatkan agar kewaspadaan dan keterampilan keuangan masyarakat semakin baik. Merespons hal tersebut, CfDS UGM menggelar diskusi publik sebagai bentuk literasi finansial untuk masyarakat.

1. Potensi ekonomi digital Indonesia besar

Digitalk dengan tema 'Strategi Cerdas Berinvestasi: Memahami Risiko dan Peluang Bisnis dalam Peer-to-Peer Lending di Indonesia'. (Dok. Istimewa)

Direktur Pengawasan Financial Technology OJK, Tris Yulianta, menekankan bahwa masyarakat Indonesia memiliki potensi ekonomi digital sebanyak USD 146 miliar di tahun 2025, dengan merujuk tingginya angka pengguna internet di Indonesia sebanyak 191 juta atau 69 persen yang merupakan pengguna media sosial aktif. Termasuk pada perkembangan industri fintech P2P Lending mendapatkan sambutan yang positif dari masyarakat.

“P2P Lending kita hadirkan untuk masyarakat kita yang unbankable. Munculnya P2P untuk masyarakat banyak dirasakan oleh UMKM, yang bisa menjadi alternatif pengganti pinjaman bank konvensional. Tantangan yang muncul di sini, dari OJK selalu mengupayakan pengawasan dan coba benahi, dengan tentunya dukungan peningkatan literasi masyarakat," kata Tris.

Baca Juga: BI: Ekraf Indonesia Hanya Kalah dari Hollywood, KPop, dan Drakor

2. P2P Lending dan perkembangannya

Dosen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Kusdhianto Setiawan. (Dok. Istimewa)

Dosen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Kusdhianto Setiawan, menjelaskan bagaimana model bisnis P2P lending mulai tumbuh dan diminati oleh masyarakat Indonesia.

“Sasaran dari fintech adalah masyarakat yang melek digital. P2P menjadi solusi bagi mereka yang unbankable, namun bukan solusi yang murah. Perlu diketahui berapa jumlah biaya yang akan ditanggung kepada pengguna. Di sini masih ada banyak sekali hal yang dapat dikembangkan oleh para pemain dan industri fintech, baik dari segi teknologi yang digunakan, maupun finansial literasi yang dihadirkan harus dapat kita tingkatkan,” ujar Kusdhianto.

Pengawas Direktorat Pengawasan Financial Technology OJK, Annisa Ika Rahmawati menyampaikan fintech P2P lending memiliki karakteristik unik dengan sifatnya sebagai kerangka. Fintech dapat menawarkan solusi kemudahan bagi masyarakat dan mahasiswa untuk belajar investasi. OJK menekankan perlunya pengawasan dan regulasi terkait aktivitas fintech di Indonesia untuk menjamin keadilan dan perlindungan bagi masyarakat.

Peran OJK sebagai regulator sangatlah diperlukan untuk dapat menghindarkan masyarakat dari segala bentuk potensi kejahatan dan kerugian saat bertransaksi maupun berinvestasi melalui platform P2P Lending.

Baca Juga: Banyak Pertashop Merugi, Milik Kuwat Justru Tetap Kuat

Berita Terkini Lainnya