TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Angka Kemiskinan Tertinggi di Jawa, Warga Jogja ternyata Rajin Nabung

Indikator kemiskinan dari BPS harus multidimensi

Ilustrasi menabung (IDN Times/Arief Rahmat)

Yogyakarta, IDN Times - Disebut memiliki persentase kemiskinan tertinggi se-Jawa, Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) menyebut warga gemar menabung dan berinvestasi. Sekda DIY, Kadarmanta Baskara Aji mengatakan masyarakat tidak banyak konsumsi, sehingga tidak sesuai jika mengukur menggunakan indikator kemiskinan

Diketahui persentase kemiskinan DIY berdasar Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2022 sebesar 11,49 persen, angka tersebut menunjukkan yang tertinggi di Pulau Jawa. Penghitungan angka kemiskinan yang digunakan BPS tersebut berdasarkan konsumsi atau pengeluaran masyarakat per kapita per bulan.

1. Indikator pengukuran BPS tidak berdasarkan pendapatan per kapita

Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, R. Kadarmantara Baskara Aji. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo).

Baskara Aji menilai indikator BPS tersebut, kurang menggambarkan kondisi warga Jogja. Pasalnya banyak yang memilih menabung dan investasi, dibanding konsumsi untuk pengeluaran.

"Yang dihitung BPS bukan pendapatan per kapita, tapi pengeluaran per kapita. BPS tidak salah, karena memang indikatornya itu, tapi kita tidak boleh melihat kondisi masyarakat DIY hanya dari satu sisi saja, dari BPS saja. Kaca mata BPS hanya pengeluaran," ujar Aji.

Baca Juga: UGM Gagas Program Penurunan Kemiskinan di DIY melalui KKN Mahasiswa

2. Masyarakat lebih pilih menabung

ilustrasi rekening (IDN Times/Aditya Pratama)

Aji menyebut Pemda DIY pernah mencoba mendorong agar masyarakat bisa meningkatkan konsumsi mereka. Saat itu Pemda memberikan bantuan Rp1 juta, namun hal itu tidak berpengaruh banyak karena tidak dibelanjakan untuk makanan maupun nonmakanan. "Warga beli kambing, yang gak dihitung BPS (indikator kemiskinan). Itu karakter masyarakat kita," kata Aji.

Contoh lainnya ketika ada pekerjaan padat karya, penghasilan yang diperoleh warga belum tentu untuk belanja atau konsumsi. Pasalnya, dari kerja mereka sudah mendapat makanan. "Warga juga tidak belanja karena memenuhi kebutuhan mereka dari hasil panen mereka sendiri. Ya betul (mereka tabung dan investasi). Rumahnya tidak berlantai tapi punya kambing etawa. Ini penilaian kita terhadap kondisi masyarakat, harus multi dimensi," ungkapnya.

Baca Juga: Tutup 2022, Penduduk Miskin di DIY Bertambah Ribuan Orang

Berita Terkini Lainnya