TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Putusan MK Diabaikan, Ini Sikap Asosiasi Pengajar Tata Hukum Negara

Keputusan DPR dinilai cacat formil

Masa aksi memadati kompleks DPR menuntut soal RUU Pilkada pada Kamis (22/8/2024). (IDN Times/Fauzan)

Intinya Sih...

  • Presiden dan DPR dianggap tidak patuh pada putusan MK
  • Sikap otoriter dan diktator merusak tatanan Negara Indonesia
  • RUU Perubahan atas UU Pilkada dinilai cacat formil dan materiil

Yogyakarta, IDN Times - Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara Daerah Istimewa Yogyakarta (AP HTN-HAN DIY) menilai sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR yang tidak patuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi.

Ketua AP HTN-HAN DIY, Prof. Ni'matul Huda, mengatakan Presiden dan DPR telah mempertontonkan sikap otoriter.

“Lembaga legislatif (DPR) dan Eksekutif (Presiden) yang semestinya menjadi garda terdepan dalam memberikan teladan dan contoh yang baik bagi rakyat Indonesia dalam mematuhi hukum dan konstitusi justru saat ini tengah mempertontonoan sikap pembangkangan terhadap konstitusi dan hukum itu sendiri,” kata Prof. Ni'matul Huda, Kamis (22/8/2024).

1. Kecam sikap presiden dan DPR

Menurut Ni'matul Huda, sikap Presiden dan DPR yang tidak patuh dan melawan terhadap putusan lembaga peradilan (MK) tersebut merusak tatanan Negara Indonesia berdasarkan hukum (rule of law). Presiden dan DPR secara pongah telah mempertontonkan sikap otoriter dan diktator serta mengkhianati daulat rakyat.

“Oleh karena itu, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (AP HTN-HAN) Daerah Istimewa Yogyakarta mengecam keras sikap Presiden dan DPR tersebut,” ujarnya.

2. Cacat formil dan materiil

Rapat Baleg DPR di Kompleks Parlemen pada Rabu (21/8/2024). (IDN Times/Amir Faisol)

Berdasarkan kondisi itu, kata Ni'matul Huda, AP HTN-HAN DIY mengeluarkan sejumlah pernyataan sikap. RUU Perubahan atas UU Pilkada adalah cacat formil karena prosesnya tidak transparan dan menutup ruang bagi partisipasi publik sehingga prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation) yang diwajibkan oleh hukum untuk dilakukan oleh DPR dan Presiden dalam setiap pembahasan RUU gagal dipenuhi.

“Selain cacat formil, RUU Perubahan atas UU Pilkada juga mengandung cacat materiil karena substansinya tidak sesuai dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024,” kata Ni'matul Huda.

RUU Perubahan atas UU Pilkada secara terang benderang telah membunuh proses pemilihan kepala daerah yang kompetitif serta melanggar hak-hak sipil-politik warga negara atas kesempatan dan kesetaraan hak memilih dan dipilih dalam konteks daulat rakyat.

“Menuntut kepada DPR dan Presiden untuk tidak mengesahkan RUU Perubahan UU Pilkada yang bertentangan dengan Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024,” ujarnya.

Baca Juga: Aksi Jogja Memanggil Desak Jokowi Mundur dilakukan di Malioboro

Berita Terkini Lainnya