Ini Penyebab Raja-Raja Kuno Tak Pernah Senyum saat Difoto 

Meski ketinggalan teknologi, foto kuno itu tanpa rekayasa

Yogyakarta, IDN Times –Foto-foto raja-raja Nusantara kuno terlihat tanpa ekspresi. Di depan kamera, mereka bergaya sebatas duduk di kursi singgasana seorang diri, duduk ditemani para abdi, atau berdiri bersama para punggawa kerajaan. Seolah tak jauh beda dengan berfoto di studio. Hasil cetakan pun hitam putih. 

Fotografer gaek peraih lisensi dari Royal Photography Society o Great Britain, Agus Leonardus mengungkapkan mengapa gaya-gaya obyek zaman dulu itu terkesan kaku.

Baca Juga: Mengenal Raja Pertama Peletak Cikal Bakal Kota Yogyakarta di Sekaten

1. Teknologi peralatan fotografi zaman itu terbatas

Ini Penyebab Raja-Raja Kuno Tak Pernah Senyum saat Difoto Pameran Foto Keraton di Bentara Budaya Yogyakarta, 6 Februari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Teknologi fotografi ditemukan pertama kali pada 1826. Sedangkan peralatan kamera diproduksi massal sejak 1850. Foto-foto yang dicetak pada masa itu menggunakan teknologi fotografi yang terbilang masih sederhana dan serba manual. Kemampuan kamera untuk merekam sangat terbatas. ISO film pun masih sangat rendah

“Kesan spontanitasnya kurang,” kata Agus saat ditemui IDN Times di Pameran Foto Keraton di Bentara Budaya Yogyakarta (6/2) lalu.

Tak heran, gaya objek-objek foto pun monoton. Berdiam diri. Berbeda dengan masa kini di mana teknologi kamera yang kian canggih bisa merekam objek yang bergerak cepat sekalipun dengan baik.

“Zaman saya pada tahun 60-an, kalau mau dipotret, tukang fotonya selalu bilang. Jangan gerak, jangan gerak,” kata Agus yang lahir pada 1955.

Tahun 1960-an itu Indonesia sudah merdeka lho. Coba bandingkan ketika masa 1850-an.

2. Publik bisa belajar sejarah lewat foto-foto lawas

Ini Penyebab Raja-Raja Kuno Tak Pernah Senyum saat Difoto Suasana Pameran Foto Keraton di Bentara Budaya Yogyakarta, 6 Februari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Menurut Agus justru yang perlu digarisbawahi, di tengah keterbatasan itu, kehadiran foto-foto masa itu telah memberikan informasi sejarah yang penting.

“Tanpa ada foto zaman itu, susah membayangkan sosok-sosok raja masa itu,” kata penerima penghargaan Federation Internationale Del’art Photographique dari Belgia pada 1982 itu.

Lewat foto pula, anak-anak bangsa bisa melihat suasana perkotaan masa itu, atribut-atribut yang dikenakan para raja dan bangsawan, juga adat istiadat tiap-tiap kerajaan yang berbeda. Bagi yang di Yogyakarta pun akan tahu kondisi taman pemandian sultan dan bangsawan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat masa itu dan membandingkan kondisi situs itu pada hari ini.

“Jadi dinilai dari sisi konten dan kontribusi fotografer pada sejarah itu luar biasa. Bukan teknisnya,” kata Agus.

3. Produk foto kuno itu jujur, tanpa rekayasa

Ini Penyebab Raja-Raja Kuno Tak Pernah Senyum saat Difoto Pameran Foto Keraton di Bentara Budaya Yogyakarta, 6 Februari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Agus menambahkan yang tak kalah menarik dari produk fotografi zaman kuno adalah dibuat tanpa rekayasa. Jadi mencerminkan betul situasi saat itu.

“Sangat jujur, valid. Beda dengan foto sekarang yang digabung-gabung menjadi beberapa gambar. Jadinya meragukan,” kata Agus.

Ia pun menunjuk salah satu foto yang di pajang di sisi kiri ruang pamer. Foto itu menggambarkan sosok Sunan Paku Buwono X dari Kasunanan Surakarta yang duduk berdampingan dengan Residen Surakarta dari Belanda. Yang menarik dari foto yang bersumber dari Majalah Kejawen itu, si residen duduk di singgasana raja yang berada di tengah. Sedangkan PB X justru duduk di sampingnya. PB X dan istri residen duduk mengapit si residen.

“Feodalisme (masa itu) tinggi. Bisa dinilai dari foto,” kata Agus.

Pada foto lain yang bersumber dari majalah yang sama, tampak Sultan Yogyakarta duduk berdampingan di singgasana dengan Residen Yogyakarta. Ada pula gambar Sultan Yogyakarta dan Residen Belanda berdiri sejajar bersama rombongan. Tampak tangan sultan mengapit pergelangan tangan residen. Foto itu bersumber dari Nederlands Indie: Land en Volk Geschiedenis en Bestuur Bedrif en Samenleving terbitan Uitgevers-Maatschappy "Elsevier", Amsterdam pada 1912.

Baca Juga: 14 Menu Makanan dan Minuman Kesukaan Raja Kraton Yogya 

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya