Mengenal Raja Pertama Peletak Cikal Bakal Kota Yogyakarta di Sekaten

Kisahnya ditulis dalam 13 manuskrip kuno

Yogyakarta, IDN Times – Sekaten MMXIX tahun ini, kamu takkan menemukan awul-awul juga keramik sortiran. Tak ada komedi putar, tong setan, atau rumah hantu. Tak ada kerak telur, juga penjual perahu othok-othok.

Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta pun relatif sepi. Keramaian berpindah ke bangunan di selatannya, Pagelaran dan Sitihinggil Keraton Yogyakarta. Salah satunya berupa pameran tematik pertama yang digelar bertajuk “Sri Sultan Hamengku Buwono I: Menghadang Gelombang, Menantang Zaman” yang digelar 1-9 November 2019.

“Masyarakat diajak menafsirkan sejarah peninggalan Pangeran Mangkubumi melalui karya-karya sastranya,” kata Ketua Pameran Sekaten yang juga anak ke-4 dari Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Hayu.

Untuk melihat karya-karya peninggalan HB I, pengunjung mesti merogoh kocek Rp5.000. Ada empat loket yang disediakan di dekat pintu masuk. Dan pagi itu, Senin (4/11), baru satu loket yang buka.

Lantas siapakah Sultan Hamengku Buwono I yang telah diangkat menjadi pahlawan nasional ini?

1. Raja yang dikenal dalam Geger Pacinan, Perang Mangkubumen hingga Perjanjian Giyanti

Mengenal Raja Pertama Peletak Cikal Bakal Kota Yogyakarta di SekatenPameran Sri Sultan Hamengku Buwono I: Menghadang Gelombang, Menantang Zaman di Sekaten 2019.IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Dalam Serat Raja Putra disebutkan, Pangeran Mangkubumi adalah anak dari Raja ke-4 Kasunanan Kartasura Sri Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa atau Amangkurat IV dengan istri selir Mas Ayu Tejawati. Ia lahir dengan nama muda Bendara Raden Mas Sujono yang kemudian berganti menjadi Pangeran Mangkubumi setelah dewasa. Kelahirannya ketika Kerajaan Mataram berpindah dari Plered ke Kartasura. Dan ketenarannya muncul ketika Kasunanan Kartasura jatuh kemudian berpindah ke Kasunanan Surakarta yang dikenal dengan peristiwa Geger Pacinan (1740-1743) dan Perang Mangkubumen (1746-1755).

“Ada mosi tidak percaya terhadap pemerintahan Kasunanan Surakarta,” kata kurator pameran, Fajar Wijanarko. Hal ini karena kekuasaan raja yang absolut dan peranan elit keraton yang menciut masa itu.

Mangkubumi kemudian hengkang dari kerajaan menuju Sukawati. Atas desakan para pangeran pendukungnya, Mangkubumi menobatkan diri sebagai pewaris tahta Mataram. Pada 11 Desember 1746 di Desa Kabanaran, ia diangkat menjadi Raja Mataram oleh para pendukungnya dengan gelar Sunan Kabanaran yang bertahta di pesanggrahan di Giyantipura.

Kemudian dibuat Perjanjian Giyanti oleh Gubernur Jenderal VOC di Semarang, Nicholas Hartingh untuk meredam perlawanan Mangkubumi pada 13 Februari 1755. Dalam perjanjian itu, Mangkubumi memperoleh wilayah Negara Agung yang sah, meliputi Mataram, Kedu, dan Bagelen sebanyak 53.100 cacah. Dan sebagian wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, juga Pantai Utara Jawa sebagai wilayah mancanegara sebanyak 33.950 cacah.

Baca Juga: Asal-Usul Nama Yogyakarta Menurut Pakar Sejarah dan Bahasa

2. Pendiri Kasultanan Yogyakarta

Mengenal Raja Pertama Peletak Cikal Bakal Kota Yogyakarta di SekatenPameran Sri Sultan Hamengku Buwono I: Menghadang Gelombang, Menantang Zaman di Sekaten 2019.IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Lantaran telah mempunyai wilayah sendiri, Mangkubumi kemudian membangun keraton baru. Lokasinya kawasan hutan Beringin di Desa Pacethokan yang diapit Sungai Code dan Sungai Winongo.

Nah, di lokasi inilah keraton baru itu dinamai Kasultanan Ngayogyakarta yang masih bisa dilihat kemegahan bangunannya hingga saat ini. Ibukotanya disebut Yogyakarta yang semula diambil dari istilah Ajogija. Sementara Mangkubumi pun menyandang gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I yang bertahta sejak 1755-1792.

Butuh waktu satu tahun bagi HB I untuk menyulap hutan beringin menjadi kerajaan. Pembangunan ibukota kerajaan pun terus berlanjut dengan membangun Tamansari, sejumlah pesanggrahan seperti Sanapakis, Kanigara, Madyatawang, Harjawinangun, Harjokusumo, Krapyak. Juga membangun bendungan di Sungai Winongo untuk mengairi hutan Krapyak yang menjadi tempat berburu binatang.

3. Membangun kerajaan atas dasar religi, filosofi, dan budaya

Mengenal Raja Pertama Peletak Cikal Bakal Kota Yogyakarta di SekatenIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Rupanya pemilihan Pacethokan sebagai ibukota kerajaan bukanlah tanpa alasan. Sempat terjadi negosiasi antara Mangkubumi dengan Gubernur Jenderal VOC Nicholas Hartingh di Pedagangan, Grobogan pada 1754. Bahwa kerajaan barunya nanti di Yogyakarta yang diapit sungai Code di timur dan Winongo di barat, serta Gunung Merapi di utara dan Samudera Hindia di selatan.

Istilah tersebut kemudian dikenal dengan sumbu imajiner. Yaitu garis lurus yang menghubungkan Samudra Hindia di selatan – Kasultanan Yogyakarta – Tugu Pal Putih – Gunung Merapi.

4. Kisah HB I ditulis dalam 13 manuskrip kuno

Mengenal Raja Pertama Peletak Cikal Bakal Kota Yogyakarta di SekatenIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Berdasarkan penelusuran katalog naskah Keraton Yogyakarta, ada 13 manuskrip kuno yang mengisahkan Pangeran Mangkubumi sejak sepak terjangnya hingga menjadi Sultan Hamengku Buwono I. Sebanyak 13 manuskrip tersebut, meliputi 11 manuskrip yang ditulis dengan aksara Jawa dan dua manuskrip dalam aksara Latin. Ditulis dalam rentang waktu 1817-1942 dari masa HB IV hingga HB IX.

Sebagian manuskrip tersebut dipamerkan dalam Pameran Sekaten itu. Manuskrip-manuskrip dijilid dan tebal. Tepian kertasnya berukir lukisan dan dipulas beberapa warna. Disimpan dalam kotak-kotak kaca dan sebagian lagi dipajang di dinding berpigura kaca pula.

“Tidak boleh dipotret,” kata Bekel Widyo Wiranto, abdi dalem Tepas Widyobudoyo yang menjaga ruang pamer saat ditemui IDN Times.

Dari 13 manuskrip itu yang tertua ditulis masa HB IV yang berjudul Babad Ngayogyakarta. Kemudian Babad Mataram yang ditulis masa HB V. Sedangkan manuskrip termuda masa HB IX yang diberi judul Babad Ngayogyakarta Pagelaran.

5. Perawatan manuskrip butuh suhu yang stabil

Mengenal Raja Pertama Peletak Cikal Bakal Kota Yogyakarta di SekatenPerpustakaan Nasional RI

Wiranto menjelaskan, merawat naskah-naskah kuno membutuhkan suhu yang stabil. Alangkah baik apabila naskah-naskah kuno disimpan dalam suhu antara 18-20 derajat Celcius. Biasanya ruang penyimpanannya dipasangi air conditioner (AC).

“Jadi 24 jam AC harus nyala,” kata Wiranto.

Apabila AC hanya dinyalakan pada jam tertentu dan selebihnya dimatikan pada jam lain, menurut Wiranto, lebih baik tak perlu menyalakan AC sama sekali.

“Cara itu justru mempercepat kerusakan naskahnya. Karena butuh suhu yang stabil,” kata Wiranto.

Cara perawatan lainnya adalah menggunakan magnesium karbonat. Zat tersebut disemprotkan pada tisu Jepang yang diletakkan di punggung kertas naskah. Zat tersebut untuk menghilangkan keasaman.

“Penyemprotannya cukup sekali. Bisa membuat naskah kuno tahan hingga 150 tahun lagi,” kata Wiranto.

Baca Juga: Tugu Golong-Gilig, Cikal Bakal Tugu Putih yang Jadi Ikon Yogyakarta 

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya