Waria Terdampak Pandemi, Bertahan Hidup dari Donasi
Waria, ekonomi sudah rentan sejak sebelum pandemik terjadi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Yogyakarta, IDN Times – Sudah jatuh, tertimpa tangga. Nasib waria-waria selama pandemik virus corona cukup membuat mengurut dada. Bagaimana tidak?
Akibat pandemik COVID-19, pemerintah mengimbau siapapun untuk menjaga jarak fisik. Sebisanya di rumah saja. Bagi waria yang hidup dari pekerjaan harian, mau tak mau sulit makan, jika tak diperbolehkan kerja. Mengandalkan bantuan sosial dari pemerintah pun ibarat mimpi siang bolong. Mengingat tak semua waria mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sementara waria termasuk kelompok yang rentan secara ekonomi.
“Jangankan ada pandemi. Tanpa pandemi saja hidup susah,” kata Sekretaris Ikatan Waria Yogyakarta (Iwayo), Yuni Shara al Bukhori saat dihubungi IDN Times, Selasa (21/4).
Di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), ada 150-200 waria yang tersebar. Mereka umumnya bergabung dalam komunitas-komunitas waria yang berhimpun di delapan titik. Ada komunitas waria di Badran, Sidomulyo atau Kricak Kidul, Madukismo, Timoho, Kotagede, Waria Kulon Progo (Warkop), dan di Jalan Solo ada Seruni dan Sorogenen.
“Sekitar 60-80 waria terdampak secara ekonomi akibat pandemi ini,” kata YS, sapaan akrabnya.
Baca Juga: Ramadan yang Terancam Sepi di Ponpes Waria Yogyakarta
1. Waria mengandalkan kerja dengan penghasilan harian
Sejauh ini, hanya pekerjaan informal yang masih menyediakan lahan bagi waria. Jadi pengamen di jalan, pekerja seks komersial, pekerja di salon atau pun di toko.
Penghasilan yang dihimpun pun harian. Hari ini makan, belum tentu esok bisa makan. Tak ada tabungan. Pengeluaran jalan terus. Apalagi kebijakan jaga jarak fisik turut memangkas peluang penghasilan mereka hari per hari.
“Yang ngamen, lampu merah sepi (kendaraan). Belum lagi yang noko (kerja di toko), tutup,” kata YS.
Tak terkecuali waria yang mengais pendapatan sebagai PSK. Penularan virus corona lewat percikan ludah pun jadi masalah.
“Pelanggan berkurang. Mau gak mau orang juga takut ketemu,” kata YS.
Sementara apabila mereka tetap bertahan di rumah kontrakaan atau pun di kos, tak bisa makan, tak bisa bayar sewa kos.
“Mau gak mau tetap kerja. Urusan perut kan mengalahkan segalanya,” kata YS.
Baca Juga: Hampir Terlupakan saat Corona, 80 Waria Akhirnya Dibantu 2 Komunitas