TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Tak Harus Menunggu DPR, PSHK UII: Presiden Bisa Revisi UU ITE  

Penyelesaian pidana di luar peradilan bisa jadi opsi

pixabay.com

Kota Yogyakarta, IDN Times – Presiden Joko 'Jokowi' Widodo tiba-tiba minta dikritik. Orang yang ingin mengkritik pun sekarang harus berpikir seribu kali apabila kritikannya tak disukai. Kekhawatiran digiring dalam lubang pasal penghinaan atau pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE menjadi momok di depan mata.

Jokowi saat ini meminta DPR untuk merevisinya. Dia juga menginstruksikan Kapolri untuk merumuskan panduan penyelesaian kasus ITE yang salah satu muatannya adalah pelapor merupakan korban.

Direktur Pusat Studi Hukum Konstitus (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Allan Fg Wardhana angkat bicara, menurutnya revisi UU ITE tak harus berasal dari DPR.

“Presiden juga berwenang mengusulkannya karena mendesak segera dilakukan. Presiden kan salah satu pembuat UU,” kata Direktur PSHK FH UII, Allan Fg Wardhana yang merujuk pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945.

Baca Juga: Jokowi Gulirkan Wacana Revisi UU ITE, KontraS: Revisi Saja Tidak Cukup

1. Mengapa UU ITE menuai kontroversi?

SAFEnet

Menurut Allan, tak semua setuju UU ITE direvisi. Ada yang menganggap pembatasan kebebasan berekspresi dalam ruang digital dengan UU ITE membawa dampak positif. Bagi yang menolak beralasan UU ITE dijadikan alat penguasa untuk membungkam kritik masyarakat sekaligus memicu saling lapor.

“Jadi perlu ditemukan jalan tengahnya,” kata Allan dalam siaran pers hari ini, Jumat (19/2/2021). 

Mekanisme pengaturan ruang kebebasan berekspresi memiliki landasan konstitusional yang kuat berdasar Pasal 28J UUD 1945. Persyaratannya meliputi pembatasan harus berdasarkan hukum (by law). Kedua pembatasan didasarkan alasan yang sah seperti ketertiban umum, kesehatan masyarakat, moral publik, keamanan nasional, keselamatan publik, dan hak kebebasan orang lain atau hak atas reputasi orang lain. Ketiga pembatasan hak asasi harus dilakukan untuk menjaga agar demokrasi berjalan baik.  Pembatasan ini dinilai sejalan dengan konsep demokrasi yang dianut bangsa Indonesia yakni demokrasi konstitusional (constitutional democracy) atau demokrasi berdasar atas hukum (democratische rechtstaat). Menurut Allan pembatasan dalam UU ITE sudah memenuhi persyaratan tersebut.

“Tapi apakah pembatasan itu sudah didasarkan pada alasan yang sah dan sejalan dengan prinsip demokrasi?” tanya Allan.

2. Kritikan yang dianggap penghinaan akan mudah dikriminalisasikan

pixabay.com

Terdapat tujuh pembatasan terhadap hak berekspresi seseorang berdasarkan UU ITE. Pertama memiliki materi muatan yang melanggar kesusilaan (Pasal 27 ayat 1). Kedua,  muatan perjudian (Pasal 27 ayat 2). Ketiga, muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (27 ayat 3). Keempat, muatan pemerasan dan/atau pengancaman (27 ayat 4). Kelima, muatan ujaran kebencian berdasar SARA (28 ayat 2). Keenam, materi muatan yang berisi ancaman kekerasan secara pribadi (29). Ketujuh, materi muatan yang dilarang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 40 ayat 2a).

“Problemnya adalah ada kekaburan antara materi muatan yang dianggap penghinaan dengan yang dianggap kritikan,” kata Allan.

Namun problem itu membuka celah kriminalisasi terhadap individu atau badan untuk dikriminalisasi. Padahal muatan yang mereka sampaikan ditujukan untuk mengekspresikan kritik, membela diri, dan melindungi pribadi seseorang juga dijadikan data sebagaimanaa yang beredar.

“Jadi ada anomali implementasi pasal yang justru meniadakan perlindungan terhadap hak asasi seseorang,” kata Allan.  

3. Revisi UU ITE perlu dilakukan terhadap pasal-pasal multitafsir dan mengekang demokrasi

google

Allan mengatakan PSHK FH UII mendukung revisi UU ITE asal dilakukan secara komprehensif terhadap pasal-pasal yang mengandung makna multitafsir dan berpotensi mengekang demokrasi.

Beberapa poin yang harus dipenuhi menurut PSHK adalah pemuatan norma dalam UU ITE harus dipastikan memenuhi asas dapat dilaksanakan dan kejelasan rumusan. Kedua, asas dapat dilaksanakan menghendaki setiap pembentukan produk hukum harus memperhitungkan efektivitas peraturan itu dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis.

Ketiga, setiap produk hukum harus mematuhi asas kejelasan rumusan. Asas itu menghendaki setiap peraturan perundang-undangan harus menggunakan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan multi-interpretasi dalam pelaksanaannya. Keempat, penggunaan frasa yang bersifat multitafsir dalam UU ITE juga harus dijadikan bahan evaluasi, karena dalam praktiknya menimbulkan interpretasi beragam. Bahkan dapat mengakibatkan penerapan pasal yang kontraproduktif dengan upaya pembatasan kebebasan berekspresi tersebut.

4. Panduan Kapolri belum menyentuh perbaikan proses hukum yang baik, benar, dan adil

Listyo Sigit Prabowo saat bersiap mengikuti Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Kapolri di ruang Komisi III DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (20/1/2021). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Panduan yang dibentuk Kapolri untuk penyelesaian kasus terkait UU ITE dinilai belum menyentuh akar permasalahan. Keharusan pihak yang melapor adalah korban dalam panduan itu hanya menyentuh upaya perbaikan di tataran impelementasi penegakan. Padahal due process of law atau proses hukum yang baik, benar, dan adil melingkupi tatanan yang lebih luas.

“Mulai mulai dari tahapan pembentukan, proses, serta penegakan hukum,” kata Allan.

Baca Juga: Kapolri Akan Bentuk Polisi Virtual untuk Edukasi UU ITE ke Masyarakat

Berita Terkini Lainnya