24 Tahun Kematian Wartawan Udin, Aktivis Yogyakarta Menolak Impunitas
UU ITE menjadi ancaman kebebasan pers
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Bantul, IDN Times – Satu hari menjelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dengan mengenakan masker, sejumlah aktivis dan jurnalis kembali menyambangi pemakaman umum di Dusun Gedongan, Desa Trirenggo, Kecamatan Bantul, Kabupaten Bantul, pagi. Di sana, jenazah jurnalis Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin dimakamkan usai meninggal pada 16 Agustus 1996. Berdampingan dengan makam ayahnya, Wagiman Jenggot, dan ibunya, Mujilah, yang menyusul beberapa tahun kemudian.
Minggu kemarin, 16 Agustus 2020, tepat 24 tahun kematian jurnalis berpostur tinggi itu. Marsiyem yang selalu menemani setiap ritual ziarah ke makam suaminya itu tak lekang dari ingatan untuk bertutur. Malam itu, 13 Agustus 1996, Udin ambruk dan koma usai dipukul orang berbadan tegap dan berikat kepala merah yang tak dikenal di teras rumahnya. Dan selama itu pula, tepatnya 8.760 hari, tak ada kepastian hukum dan penyelesaian dari kasus pembunuhan Udin.
“Kasus pembunuhan Udin memberikan catatan buruk hukum pidana dan utang kepolisian Indonesia. Profesionalisme polisi patut dipertanyakan,” kata Koordinator Koalisi Masyarakat untuk Udin (K@MU), Tri Wahyu dalam siaran pers yang diterima IDN Times, 16 Agustus 2020.
Baca Juga: Keluarga Eks Napi Terorisme Ikuti Upacara Bendera HUT Kemerdekaan RI
1. Jurnalis membentuk tim investigasi kasus pembunuhan Udin
Dalam catatan yang dihimpun K@MU dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dikisahkan, kematian Udin diduga kuat berkaitan dengan tulisannya masa itu. Dugaan itu berdasarkan hasil investigasi sejumlah wartawan Bernas dan wartawan lain yang bergabung dalam Tim Kijang Putih dan Tim Pencari Fakta dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta.
“Hasilnya, ada petunjuk yang menduga kuat pembunuhan Udin karena sejumlah berita korupsi di Bantul yang ditulisnya,” kata Tri Wahyu.
Ada tulisan yang mengkritisi korupsi megaproyek Parangtritis. Tulisan lain tentang upaya Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo yang memberikan upeti Rp1 miliar kepada Yayasan Dharmais pimpinan Presiden Suharto. Uang itu menjadi pelicin Sri Roso agar dipilih kembali menjadi Bupati Bantul. Tulisan-tulisan itu dimuat di Koran harian Bernas waktu itu.
Persidangan kasus pembunuhannya berlangsung penuh drama. Dwi Sumadji alias Iwik tiba-tiba diseret menjadi tersangka hingga terdakwa palsu dengan dalih perselingkuhan. Iwik membantah semua tuduhan itu dan hakim membebaskannya.
Penyidik kasus Udin dari Kepolisian Resor Bantul, Sersan Mayor Edy Wuryanto yang merekayasa perkara Iwik selaku tersangka pembunuh Udin tidak diadili. Dia disidangkan terkait penghilangan buku catatan jurnalistik Udin dan melarung darah Udin di Pantai Parangtritis. Mahkamah Militer Yogyakarta memvonis dia selama 10 bulan penjara karena lalai.
Selepas itu, sejumlah upaya hukum dan advokasi yang dilakukan jurnalis dan masyarakat sipil terus dilakukan. Termasuk memberikan data-data hasil investigasi itu kepada polisi. Namun polisi tetap berpegang teguh, bahwa Iwik pelakunya.
“Dan kami menolak penghentian atau impunitas kasus pembunuhan jurnalis Udin oleh pemerintah. Itu preseden buruk bagi pers,” kata Tri Wahyu.
Baca Juga: Tradisi Baru, Konsep Teks Proklamasi Dipamerkan di Istana Negara