TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Warga di TPST Piyungan Tolak Pembangunan Pabrik Pengolah Sampah

Tak ada paksaan bagi warga untuk menjual lahannya

TPST Piyungan. IDN Times/Daruwaskita

Bantul, IDN Times - ‎Ratusan warga di sekitar Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan di Padukuhan Ngablak, Kalurahan Sitimulyo, Kapanewon Piyungan, Kabupaten Bantul menolak rencana pembangunan pabrik pengolah sampah oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Warga menganggap rencana pembangunan pabrik pengolohan sampah atau sejenisnya tidak berdampak positif. Pasalnya, lahan dan rumah mereka harus rela dibeli oleh pemerintah. Mereka pun harus mencari tempat tinggal yang jauh dari TPST yang merupakan tempat mencari nafkah.

Baca Juga: Akses Jalan Amblas Akibat Hujan Deras, TPST Piyungan Ditutup Dua Hari

1. Dua kali sosialisasi, warga tetap menolak pembangunan pabrik pengolah sampah

Tokoh masyarakat di TPS Piyungan, Maryono tunjukkan lahan yang akan dibeli pemda DIY. (IDN Times/Daruwaskita)

Salah satu tokoh masyarakat Padukuhan Ngablak, Maryono, mengatakan rencana pembangunan pabrik pengolahan limbah dari Pemda DIY baru disosialisasikan oleh Kalurahan Sitimulyo sebanyak dua kali dengan mengundang perwakilan dari warga Padukuhan Ngablak. Pabrik tersebut rencananya akan berlokasi di sisi barat TPST Piyungan atau masuk wilayah RT 3, 4, dan 5.

"Dalam sosialisasi tersebut Kalurahan Sitimulyo didampingi dari perwakilan Pemda DIY menyatakan keinginannya untuk membangun pabrik pengolahan hingga perluasan tempat pembuangan sampah sehingga warga diminta kerelaan tanahnya untuk dibeli Pemda DIY," kata Maryono ditemui di kawasan TPS Piyungan, Selasa (18/5/2021).

Dalam dua kali pertemuan antara pemerintah Kalurahan Sitimulyo dengan warga, tidak ada titik temu. Warga menolak rencana pembangunan pabrik pengolahan sampah hingga perluasan tempat pembuangan sampah karena membuat warga harus pindah. 

"Ketika enam hektare dibeli oleh pemerintah maka ratusan rumah rumah dan bangunan pondok pesantren juga harus diratakan dengan tanah. Sementara masih ada penduduk lagi yang tanahnya tidak dibeli oleh pemerintah harus hidup dalam kepungan sampah," ujarnya.

2. Ada lahan milik warga di luar yang bersedia dijual untuk pembangunan pabrik

Kantor UPT TPST Piyungan Bantul. (IDN Times/Daruwaskita)

Maryono melanjutkan, meski sebagian lahan yang diincar oleh pemerintah milik warga dari luar Padukuhan Ngablak, namun demikian warga sepakat tetap akan menolak rencana pembangunan pabrik pengolahan sampah.

"Ya mereka berhak menjual tanahnya yang ada di Padukuhan Ngablak namun warga yang tinggal di Ngablak tidak rela tanahnya dibeli oleh pemerintah," ungkapnya.

3. Makelar tanah sudah berkeliaran sebelum ada sosialisasi dari Kalurahan

Salah satu warga Padukuhan Ngablak, Murdani yang sepakat menjual tanahnya namun akhir membatalkan kembali penjualan tanahnya. (IDN Times/Daruwaskita)

Salah satu warga Padukuhan Ngablak, Murdani, mengatakan sebelum sosialisasi pembangunan pabrik pengolahan sampah, sekitar enam bulan yang lalu dirinya bersama sejumlah tetangga didatangi makelar tanah yang berniat untuk membeli tanah namun belum diketahui peruntukannya.

"Saat itu saya sepakat menjual tanah seluas 1.000 meter persegi dengan harga per meter persegi Rp 400 ribu namun sampai saat ini uang juga tidak diberikan meski saya sudah tanda tangan persetujuannya," ujarnya.

Murdani mengaku kaget ketika ada sosialisasi pembangunan pabrik pengolahan sampah ataupun perluasan lahan untuk pembuangan sampah sekitar dua bulan yang lalu setelah ada sosialisasi dari Kalurahan.

"Ternyata sudah lebih dahulu makelar tanah berkeliaran mengincar tanah milik warga," ungkapnya.

Lebih jauh Murdani mengaku bersama warga lainnya sepakat jika Pemda DIY ingin membangun pabrik pengolahan sampah masih bisa menggunakan lahan disisi timur TPST yang luasnya lebih dari enam hektar dan jauh dari pemukiman sehingga dampaknya tidak dirasakan oleh masyarakat dan tanah tersebut sudah dibeli oleh Pemda DIY.

"Kan sudah ada lahan dan milik sendiri, kenapa harus beli lahan milik warga yang sudah tinggali turun temurun dan diminta angkat kaki," terangnya.

"Di lahan yang mau dibeli Pemda DIY itu juga ada mata air yang sehari-hari digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari. Kalau nanti dibeli Pemda DIY maka sumber air warga akan mati karena pasti ditutup," tambahnya lagi.

Baca Juga: TPST Piyungan, Peneliti UGM: Masalah Selalu Berulang Setiap Tahun

Berita Terkini Lainnya