PUKAT UGM Nilai Gaya Hidup Mewah Pejabat Rentan Perilaku Koruptif
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Yogyakarta, IDN Times - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Zaenur Rohman menyebut gaya hidup mewah pejabat bisa menjadi faktor pendorong tindak korupsi. Hal tersebut dikarenakan bukan lagi kebutuhan yang harus dipenuhi, melainkan mengarah pada gaya hidup.
Belakangan muncul di publik gaya hidup mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Rafael Alum Trisambodo dan Kepala Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto yang memamerkan gaya hidup mewah. Saat ini kedua pejabat berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
1. Pamer kemewahan bisa jadi pendorong korupsi
Zaenur menyebut penyelenggara negara memang dianjurkan menunjukkan sikap hidup yang sederhana yang merupakan salah satu etika yang dijalankan. Dianggap tidak pantas bagi seorang penyelenggara negara untuk menunjukkan gaya hidup mewah, di tengah tingginya tingkat ketimpangan kesejahteraan antara masyarakat dan pejabat atau bahkan sesama pejabat.
"Sedangkan lifestyle itu kalau menunjukkan gaya hidup yang bermewah-mewah itu selalu haus validasi dari orang lain, sehingga gaya hidup yang mewah itu memang bisa menjadi salah satu faktor pendorong korupsi," kata Zaenur, Kamis (2/3/2023).
2. KPK memiliki tugas mengungkap haya hidup mewah pejabat
KPK disebut Zaenur memiliki tugas mengungkap kasus yang baru-baru ini muncul. Gaya hidup mewah yang ditunjukkan pejabat harus dipastikan apakah dibiayai dari penghasilan yang sah atau ilegal.
"Nah kemarin RAT itu sudah diklarifikasi oleh KPK, tetapi itu baru klarifikasi atas LKHPN, yang memeriksa RAT (Rafael Alun Trisambodo) itu juga bukan penyelidik bukan penyidik, tapi yang memeriksa adalah Direktorat LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) di bidang deputi pencegahan. Artinya belum ada proses pro justicia, belum ada proses penegakan hukum dari RAT baru sekadar mengklarifikasi soal LKHPN yang disampaikan," kata Zaenur.
Zaenur mengungkapkan hal tersebut artinya masih sangat jauh dari proses hukum. Padahal ekspektasi masyarakat ingin melihat adanya penegakkan hukum.
Baca Juga: Kekayaan Kepala Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto Capai Rp15 Miliar
Baca Juga: Diduga Milik Keluarga Mario, Kafe Bilik Kayu Jogja Banjir Hujatan
3. Proses hukum masih jauh
Peraturan perundang-undangan saat ini, KPK bisa melakukan klarifikasi kepada seorang penyelenggara negara terhadap LHKPN yang dianggap tidak wajar. Hasil klarifikasinya diserahkan ke inspektorat jenderal Kemenkeu karena Rafael merupakan pejabat di Kemenkeu. Kemudian Direktorat Jenderal Keuangan akan menggunakan rekomendasi dari KPK sebagai dasar untuk penegakkan etik yang bersifat administratif.
Zaenur menyebut untuk sanksi adalah dalam bidang kepegawaian. Misalnya tidak diberikan kenaikan pangkat atau tidak diberikan posisi penting atau dijatuhi sanksi etik. "Ya saat ini hanya itu yang tersedia tidak ada yang lain. Nah dalam hal KPK ketika mengklarifikasi LHKPN itu menemukan adanya tindak pidana maka dari Direktorat LHKPN ke kedeputian pencegahan KPK bisa menyerahkan ke kedeputian penindakan untuk dimulai proses projusticia. Misalnya didahului dengan penyelidikan, tetapi itu belum terjadi, belum ada sampai saat ini," ujar Zaenur.
Baca Juga: Eks Koruptor kembali ke Partai, PUKAT UGM: Komitmen AntiKorupsi Rendah