TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Juru Bicara MA Bantah Korupsi Rp97 Miliar Pemotongan Honor Perkara

Tudingan dinilai dari informasi yang keliru

Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Suharto. (IDNTimes/Tunggul Damarjati)

Intinya Sih...

  • Juru Bicara Mahkamah Agung menampik tuduhan korupsi dari Indonesia Police Watch (IPW)
  • Pemotongan honorarium penanganan perkara hakim agung disepakati secara sukarela untuk kepentingan teknis dan administrasi yudisial
  • Tudingan IPW didasarkan pada informasi keliru, HPP dialokasikan sesuai keputusan Panitera MA dan telah diaudit oleh BPK

Sleman, IDN Times - Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Suharto menampik tuduhan Indonesia Police Watch (IPW) yang menyebut pimpinan lembaganya telah melakukan korupsi melalui pemotongan honorarium penanganan perkara (HPP) hakim.
Suharto menjelaskan tudingan IPW dalam berbagai pemberitaan yang menyebut pimpinan MA mengantongi Rp97 miliar dari pemotongan HPP didasarkan pada informasi yang keliru.

 

 

1. Pemotongan HPP diklaim sukarela

Menurut Suharto, pemotongan HPP para hakim agung telah disepakati secara sukarela. Mereka bersedia menyerahkan 40 persen haknya untuk disalurkan kepada tim pendukung teknis dan administrasi yudisial.

"Bahwa tidak ada praktik pemotongan honorarium penanganan perkara hakim agung yang dilakukan secara paksa dengan intervensi pimpinan Mahkamah Agung," kata Suharto saat menggelar sesi jumpa pers di Ambarrukmo Plaza, Sleman, DIY, Selasa (17/9/2024).

Suharto menambahkan kesediaan para hakim agung, dituangkan melalui sebuah surat pernyataan bermaterai dan diketahui oleh ketua kamar yang bersangkutan. Selain itu, demi mempermudah proses penyerahan sebagian hak atas HPP tersebut, para hakim agung membuat kuasa kepada Bank Syariah Indonesia (BSI) untuk melakukan pendebetan dana dari rekening penerimaan HPP masing-masing.

"Seluruh hakim agung telah membuat surat pernyataan penyerahan secara sukarela sebagian haknya atas honorarium penanganan perkara dan surat kuasa pendebetan. Dengan demikian, tidak benar ada hakim agung yang melakukan penolakan,"  ucap Suharto.

2. Hakim agung tak mampu selesaikan penanganan perkara sendirian

Suharto mengungkapkan alasan yang melatarbelakangi penyerahan sebagian atas HPP tersebut, yakni para hakim agung sadar bahwa mereka sendirian tak akan mampu menuntaskan proses penanganan perkara di MA.

Suharto berujar maksud diberikannya HPP kepada Hakim Agung adalah guna mempercepat proses penyelesaian perkara dan mereduksi tunggakan perkara pada MA. Ini termaktub dalam paragraf keempat penjelasan PP 82/2021 dan surat Menteri Keuangan tentang Satuan Biaya Masukan Lainnya (SBML) HPP.

Suharto mengungkap sederet pekerjaan yang harus dilakukan dalam penanganan perkara oleh MA, mulai dari penerimaan berkas perkara, penelaahan dan pemilahan berkas perkara, registrasi berkas perkara, penetapan kamar, penetapan majelis, dan distribusi perkara. Lalu, penetapan hari musyawarah dan ucapan, berkas perkara, persidangan musyawarah dan ucapan, minutasi dan pengiriman berkas ke pengadilan pengaju.
Oleh karenanya, kerja kolektif antara hakim agung sebagai pelaksana fungsi utama dan unsur kepaniteraan dan kesekretariatan MA sebagai pendukung teknis dan administrasi yudisial sangat amat diperlukan.

"Percepatan penyelesaian perkara tersebut hanya dapat terwujud jika adanya sinergitas antara hakim agung sebagai pelaksana fungsi utama dan unsur kepaniteraan dan kesekretariatan Mahkamah Agung sebagai pendukung teknis dan administrasi yudisial," ujar Suharto.

Di satu sisi, ketentuan pemberian honorarium penanganan perkara pada MA ini tidak sama dengan pengaturan untuk Mahkamah Konstitusi (MK), di mana HPP selain kepada hakim konstitusi juga diberikan kepada gugus tugas dan/atau pegawai di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK. "Sedangkan untuk Mahkamah Agung, Honorarium Penanganan Perkara cuma diperuntukkan bagi hakim agung," lanjutnya.

 

Baca Juga: Kenapa di Jogja Tidak Ada Pemilihan Gubernur? Begini Asal Muasalnya

Berita Terkini Lainnya