TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Inkonstitusional, Apa Dampaknya bagi Substansi UU Cipta Kerja?

FH UGM soroti enam klaster substansi UU Cipta Kerja

Sidang putusan gugatan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11/2021). (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Sleman, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) inkonstitutional bersyarat dan memberikan tenggat waktu 2 tahun bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan. MK juga memutuskan agar ada penangguhan pelaksanaan UUCK yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas.

Berkaitan dengan hal ini, sejumlah pakar dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyoroti tentang dampak dari hal tersebut terhadap sejumlah aspek, yaitu bisnis, perpajakan, administrasi pemerintahan, pidana, ketenagakerjaan dan pertanahan.

Baca Juga: UU Cipta Kerja Harus Direvisi, Gimana Nasib Aturan Pengupahan? 

1. Membuka ruang multi-interpretasi baru

Aksi penolakan Omnibus Law. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Karina Putri, Dosen FH UGM, mengatakan jika hal-hal strategis dan berdampak luas serta kebijakan strategis yang terdapat dalam putusan tersebut membuka ruang multi-interpretasi baru. Dia mengungkapkan arti penting untuk menengok kembali urgensi menggunakan Ease of Doing Business (EODB) sebagai alat utama untuk pengambilan kebijakan kemudahan berusaha di Indonesia.

“Seperti yang diketahui Bank Dunia pun mulai berani berterus terang bahwa adanya data irregularities terkait peringkat EODB sebuah negara yang mencoreng kredibilitas institusi tersebut sebagai lembaga pemeringkat,” ungkapnya dalam webinar “Implikasi Putusan MK terhadap Substansi Undang-Undang Cipta Kerja” pada Kamis (16/12/2021).

2. Akan timbulkan ketidakpastian hukum di sektor perpajakan

Ilustrasi Penerimaan Pajak. (IDN Times/Arief Rahmat)

Berkaitan dengan klaster Perpajakan, Taufiq Adiyanto yang juga merupakan Dosen Fakultas Hukum UGM menjelaskan jika putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dapat mengubah haluan pelaksanaan agenda perpajakan pemerintah Indonesia.

Dia mengungkapkan, apabila perbaikan UUCK tidak dilakukan sesuai waktu yang diberikan, maka dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum di sektor perpajakan, di mana hal ini akan menimbulkan beragam interpretasi dan risiko.

"Di antaranya pembebasan PPh terhadap dividen, restitusi PPN batubara dan penyesuaian dari tarif pajak dan tarif retribusi daerah,” katanya.

3. Sudah seharusnya pemidanaan berdasarkan UUCK ditangguhkan untuk sementara

Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Lalu, jika melihat dari sisi hukum pidana, M Fatahillah Akbar mengungkapkan bahwa Penuntutan Ketentuan Pidana dalam UUCK dapat ditafsirkan sebagai salah satu tindakan strategis jika merujuk pada Pasal 4 UUCK. Jika dikaji secara komprehensif juga terdapat lebih dari 100 putusan pidana yang didasarkan pada UUCK, sehingga bisa dinyatakan juga sebagai dampak yang meluas.

"Oleh karena itu, sudah seharusnya pemidanaan berdasarkan UUCK ditangguhkan untuk sementara. Namun, penangguhan pemidanaan berdasarkan UUCK ini akan menimbulkan pertanyaan, apakah pemidanaan dengan undang-undang sebelumnya dimungkinkan,” katanya.

Hendry Julian Noor, menggarisbawahi (keputusan) fiktif positif UUCK membuka celah perilaku koruptif tanpa pengawasan PTUN. Hal ini mengingat bukan tidak mungkin sikap diam tersebut dilakukan dengan sengaja atas dasar kerja sama untuk melakukan kesepakatan yang koruptif (devil’s agreement) antara pemohon dengan Administrasi Pemerintahan.

Baca Juga: UU Cipta Kerja Direvisi, Jokowi Jamin Keamanan dan Kepastian Investasi

Berita Terkini Lainnya