TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Hari Ini Aksi Mosi Parlemen Jalanan: Gagalkan Omnibus Law! (3)

Waspadai produk hukum yang tak transparan

(Foto hanya ilustrasi) Poster menuntut digagalkannya omnibus law di dinding jembatan di kawasan Malioboro, Yogyakarta, Minggu (8/3). IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Yogyakarta, IDN Times – Poster-poster berlatar hitam dan putih menempel di sejumlah tempat di Yogyakarta. Di tembok jembatan, dinding pos polisi, di boks PLN di jalanan. Tulisannya ringkas. Omnibusuk Law. Ditambah gambar tali yang membuat simpul laiknya untuk gantung diri.

Sejumlah aksi menolak omnibus law mulai bertebaran di beberapa kota pekan lalu. Hari ini, Senin (9/3), massa yang mengatasnamakan Rapat Rakyat Mosi Parlemen Jalanan turun ke jalan. Mengajak mahasiswa, aktivis lingkungan, jurnalis, buruh, juga berbagai elemen masyarakat sipil lainnya dalam satu barisan.

Mereka bergerak dari tiga titik kumpul. Bunderan UGM, Gedung Multi Purpose UIN Sunan Kalijaga, dan Taman Pancasila UNY. Mereka akan bergerak dan berkumpul di titik yang sama, yaitu di pertigaan Gejayan. Dan mengusung seruan yang sama: Gagalkan Omnibus Law.

Baca Juga: Omnibus Law, Kelahiran RUU Sapu Jagat Demi Pertumbuhan Ekonomi (1)

1. RUU Omnibus Law sulit direview, jika sudah disahkan

Diskusi Omnibus law di Pukat UGM, 26 Februari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Penyusunan drafnya sangat cepat. Tak semua para stakeholder yang terdampak kepentingannya dilibatkan untuk membahas, seperti buruh, aktivis lingkungan, jurnalis.

“Tiba-tiba sudah ada drafnya, diajukan ke DPR, sudah ada surat presidennya. Berarti sudah matang,” kata Direkur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Oce Madril.

Kesan tergesa-gesa penyusunan RUU Omnibus Law Cipta Kerja mengingatkan ketika RUU Revisi KPK muncul. Selain sama-sama diributkan, draf keduanya pun tak dimunculkan kepada publik. Semestinya sejak awal langkah itu sudah dilakukan pemerintah agar transparan.

“Banyak hak publik diatur di situ. Dan banyak undang-undang yang diubah dalam RUU itu,” kata Oce.

Ia pun mengingatkan kebijakan publik maupun produk hukum yang dibuat dan berlaku bersifat mengikat dan punya konsekuensi. Apalagi seperti RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang memuat banyak pasal seperti RUU KUHP, sehingga sulit di-review.

Ia setuju RUU itu jangan sampai lolos untuk disahkan. Momentum saat ini harus benar-benar digunakan untuk memelototi pasal demi pasal yang harus dicoret.

“Jadi jangan sampai disahkan. Karena sulit direview, apalagi diubah,” kata Oce.

Pernyataan yang sama juga disampaikan Sosiolog UGM, AB Widyanta. RUU sapu jagat itu ditengarai menjadi tatanan baru yang dirancang tidak demokratis, tidak transparan, sehingga harus diawasi.

“Jangan sampai disahkan, karena implikasinya sangat serius,” kata Widyanta.

2. Waspadai korupsi legislasi

Diskusi Omnibus Law dan Korupsi Legislasi di Pukat UGM, 26 Februari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Istilah “korupsi legislasi” rupanya kurang familier di publik Indonesia. Pun masih sulit mencari literaturnya di sini. Korupsi legislasi terjadi ketika pembuat kebijakan atau undang-undang membuat produk hukum itu hanya mempertimbangkan kepentingan kelompok tertentu dan isinya menguntungkan kelompok tersebut.

“Mengakomodir kepentingan menjadi hal buruk ketika ada suap, tidak transparan, membatasi akses informasi publik,” kata Peneliti Pukat UGM, Yuriz Rezha Kurniawan.

UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) salah satunya. RUU Omnibus Law terduga lainnya. Alasan sejumlah pihak saat itu, rancangan produk itu masih berupa draf, belum masuk ke DPR. Sementara UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan ada asas keterbukaan dalam pembentukannya. Dalam penjelasan dinyatakan keterbukaan adalah keterbukaan informasi sejak tahap perencanaan.

“Jadi meski belum sampai DPR sudah bisa diakses publik. Undang-undang yang minta terbuka, lho,” kata Yuriz.    

Ada lima tahap pembuatan peraturan perundang-undangan. Mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, hingga pengundangan. Dalam perencanaan semestinya sudah terlihat dalam program legislasi nasional (prolegnas) atau prolegda di tingkat daerah. Sementara kasus UU KPK tidak masuk prolegnas dan dalam waktu 13 hari direvisi.

“Itu cacat formil. Dan sekarang diperjuangkan di Mahkamah Konstitusi untuk uji formil,” kata Yuris.

Namun soal RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini, Yuriz optimis tak seterlambat RUU KPK. Masih ada waktu untuk merevisinya sebelum disahkan dalam 100 hari kerja DPR.

Baca Juga: Tak Hanya Buruh, Omnibus Law Memberi Dampak bagi Semua (2)

Berita Terkini Lainnya