TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Civitas Academica UGM Keluarkan Pernyataan Sikap Kampus Menggugat

Kritisi kondisi Indonesia terkini

Kampus Menggugat. (Dok. Istimewa)

Sleman, IDN Times - Civitas academica Universitas Gadjah Mada (UGM) mengeluarkan pernyataan sikap melalui gerakan Kampus Menggugat: Tegakkan Etika dan Konstitusi, Perkuat Demokrasi di Balairung UGM, Selasa (12/3/2024). Para dosen, guru besar dan mahasiswa tersebut menyerukan tiga tuntutan.

Hadir dalam pernyataan sikap tersebut di antaranya guru besar UGM, Prof. Koentjoro, Prof. Budi Setiadi Daryono, Prof. Wahyudi Kumorotomo, Prof. Sigit Riyanto. Wakil Rektor UGM, Arie Sujito, dan salah satu dosen Fakultas Hukum, Zaenal Arifin Mochtar.

Tidak hanya akademisi dari lingkup UGM. Sejumlah akademisi dari kampus lain juga hadir seperti, Rektor UII, Prof. Fathul Wahid dan Rektor Universitas Widya Mataram, Prof. Edy Suandi, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas, serta sejumlah seniman dan budayawan.

1. Mengembalikan etika dan konstitusi yang terkoyak

Gedung Mahkamah Konstitusi. (IDN Times/Yosafat Diva Bagus)

Prof. Budi Setiadi Daryono yang membacakan pernyataan sikap menyebut civitas akademica UGM melalui gerakan Kampus Menggugat, mengundang para civitas academica dan alumni di tiap universitas dan elemen masyarakat sipil untuk mengembalikan etika dan konstitusi yang terkoyak selama lima tahun terakhir.

"Universitas adalah benteng etika, dan akademisi adalah insan ilmu pengetahuan yang bertanggungjawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menjaga keadaban (civility), dan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Inilah momentum kita sebagai warga  negara melakukan refleksi dan evaluasi terhadap memburuknya kualitas kelembagaan di Indonesia dan dampaknya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara," ujarnya.

Reformasi 1998, adalah gerakan rakyat untuk mengembalikan amanah konstitusi, setelah terkoyak oleh Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di masa Orde Baru. Namun, pendulum reformasi berbalik arah sejak 17 Oktober 2019 yang ditandai revisi UU KPK dan diikuti pengesahan beberapa UU lain yang dipandang kontroversial, antara lain UU Minerba, UU Cipta Kerja.

"Pelanggaran etika dan konstitusi meningkat drastis menjelang Pemilu 2024 dan memperburuk kualitas kelembagaan formal maupun informal. Kemunduran kualitas kelembagaan ini menciptakan kendala pembangunan bagi siapapun presiden Indonesia 2024-2029 dan selanjutnya. Konsekuensinya, kita semakin sulit untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045, yang membayang justru adalah Indonesia Cemas," lanjutnya.

2. Etika dan kebebasan mimbar harus ditegakkan

Massa aksi Gejayan Kembali Memanggil ditutup dengan aksi teatrikal, orang dengan topeng berwajah Presiden Joko 'Jokowi' Widodo dipancung, di Jalan Gejayan, Caturtunggal, Depok, Senin (12/2/2024). (IDNTimes/Herlambang Jati)

Prof. Budi menyebut konstitusi memberikan amanah eksplisit kepada warga negara Indonesia, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, membangun peradaban, menjaga keberlanjutan pembangunan, lingkungan hidup, dan menegakkan demokrasi. Akademisi menjalankan tugas konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun peradaban melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tugas ini hanya dapat dilakukan ketika etika dan kebebasan mimbar ditegakkan.

Kualitas kelembagaan berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Negara-negara yang merdeka dan berkembang menjadi negara maju, adalah negara yang dengan sadar melakukan reformasi untuk memperbaiki kualitas kelembagaannya. "Pelanggaran etika bernegara oleh para elite politik, akan mudah dicontoh berbagai elemen masyarakat. Hal ini mengancam kelangsungan berbangsa dan bernegara, dan menjauhkan Indonesia sebagai negara hukum," ucapnya.

Baca Juga: Petisi Bulaksumur: UGM Dorong Presiden Jokowi ke Jalur Demokrasi

Berita Terkini Lainnya