Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Memaknai Falsafah Nrimo Ing Pandum Warga Lereng Merapi

ilustrasi orang-orang tersenyum bahagia (pexels.com/Tom Fisk)
Intinya sih...
  • Keberanian warga lereng Merapi disalahpahami sebagai sikap keras kepala, padahal mereka hidup dengan filosofi nrimo ing pandum, menerima segala hal apa adanya.
  • Warga memilih lokasi hunian yang aman dari bencana erupsi, menunjukkan kebijaksanaan dan kesadaran akan berkah Merapi serta menjaga keselamatan diri dan harta benda.
  • Konsep nrimo pada warga Merapi bukan pasrah tanpa usaha, melainkan penerimaan positif yang tulus, strategi keselamatan, dan upaya mengurangi risiko kerugian materi.

Hidup berdampingan dengan gunung api teraktif bagi sebagian orang tak mudah, dan butuh keberanian. Namun, bagi warga setempat, kondisi ini justru bagian dari filosofi hidup mereka yaitu nrimo ing pandum. Menerima dengan lapang dada atas segala halnya di sana.

Keberanian warga bertahan tinggal di wilayah rawan erupsi inilah yang sering kali disalahpahami sebagai sikap keras kepala. Padahal, jika ditelusuri lagi, keputusan mereka menyimpan kebijaksanaan dan kesadaran bahwa hidupnya bergantung juga pada berkah Merapi, makanya warga juga berusaha menyelaraskan diri.

Tak ada satu pun orang yang berharap jadi korban bencana. Maka, warga di sana juga memahami setiap kali Mbah Merapi punya gawe perlu sigap mengungsi, dan kembali ketika wilayah sudah dinyatakan aman. Keberanian yang dianggap ngeyel itu sebenarnya mengajarkan tentang nrimo ing pandum yang sesungguhnya. Mari, simak untuk menambah pemahaman ini.

1.Tersimpan ketangguhan di balik sikap warga

ilustrasi orang berjalan (pexels.com/Ihsan Adityawarman)

Dalam buku Melacak Mitos Merapi: Peka Membaca Bencana, Kritis terhadap Kearifan Lokal, Ibnu Subiyanto menceritakan gambaran masyarakat kecil di lereng Merapi yang hidup sederhana bahagia. Mereka tak memusingkan hal jauh ke depan, melainkan cukup dengan hari ini dan esok pagi. Pola pikir ini mungkin asing bagi sebagian warga perkotaan yang kerap memperhitungkan sesuatu hingga jangka panjang.

Justru di balik kesederhanaan itu, tersimpan ketangguhan yang luar biasa. Warga punya daya juang dan keberanian bertahan di tengah alam yang kadang tak bisa diprediksi. Sayangnya, kegigihan dan semangat warga disalahartikan oleh sebagian orang yang tak memahami. Mereka dianggap nekat dan ngeyel karena tetap tinggal di lereng Merapi. Namun, sebenarnya mereka itu menyadari berkah-berkahnya, mampu mengelolanya, dan tentu sambil menjaga kearifan lokal.

2.Warga mengenal dan memahami bagaimana menjalani hidup di lereng Merapi

ilustrasi orang mencari rumput (pexels.com/SAM Photography)

Keberanian warga bertahan tinggal hidup di sana, tak hanya nekat saja, melainkan mereka mengenal betul dan paham bagaimana mesti menjalani hidup di kawasan tersebut. Ini terlihat dari permukiman yang dibangun cukup jauh dari tubir jurang.

Pemilihan lokasi rumah warga juga mempertimbangkan keamanannya. Dengan jarak jauh tersebut, hunian warga aman dari awan panas, sehingga keselamatan diri dan harta benda juga terjaga ketika pemiliknya mengungsi sementara saat Merapi erupsi.

3.Warga desa asli di lereng Merapi sebenarnya masyarakat yang nrimo ing pandum

ilustrasi keluarga tersenyum bahagia (pexels.com/Daniel Lee)

Kearifan lokal menunjukkan bahwa warga asli memahami risiko hidup berdampingan dengan gunung api aktif. Terlihat dari bangunan rumah yang telah dijelaskan, sehingga ketika Merapi memberi tanda akan erupsi, masyarakat pun sudah terlatih menghadapinya.

Para peternak juga mulai menjual hewan ternaknya ke pasar, lalu menyimpan hasil penjualan di tempat yang aman seperti bank. Tindakan ini menunjukkan bahwa warga siap dengan strategi terukur.

Jelas sudah, mereka bukan orang yang susah diatur. Justru, karena sadar betul akan risiko, dan masih ada upaya menjaga keselamatan diri dan harkatnya. Inilah makna dari nrimo ing pandum yang sebenarnya. Ikhlas dengan jatah hidup, namun tetap diiringi usaha-usaha.

4.Arti nrima yang tak sekadar pasrah

ilustrasi petani di sawah (pexels.com/ Rosyid Arifin)

Franz Magnis dalam bukunya Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, menjelaskan tentang konsep nrimo yang berarti menerima segala yang terjadi tanpa banyak protes. Penerimaan yang dimaksud juga bukan tanda lemah, melainkan wujud kekuatan menghadapi kenyataan tanpa membiarkan diri hancur oleh keadaan.

Konsep ini seperti yang terlihat pada warga asli Merapi. Maknanya positif yaitu meski dalam kesulitan, tetap bersikap rasional, pantang menyerah, dan tidak berusaha melawan hal-hal yang memang tak lagi bisa diubah.

Sikap nrimo ing pandum yang dilakukan warga lereng Merapi bukan berarti pasrah tanpa usaha, justru ada kerelaan yang tulus dan bersungguh-sungguh menjaga kebaikan bersama, baik untuk alam dan diri beserta keluarga. Mereka merancang strategi keselamatan, tenang dan bertindak tepat saat Merapi memberi tanda-tanda, serta berupaya mengurangi risiko kerugian materi. Sebuah pelajaran berharga tentang kegigihan dan hidup selaras dengan alam yang mengajarkan penerimaan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Paulus Risang
EditorPaulus Risang
Follow Us