Agung Masih Setia Lestarikan Teknik Letterpress Printing

Pelanggannya kebanyakan justru dari luar negeri

Yogyakarta, IDN Times - Di zaman sekarang, segala aspek kehidupan sudah bisa dijangkau oleh digitalisasi. Lebih cepat, mudah, dan harga yang bersahabat adalah hal yang ditawarkan oleh modernisasi saat ini. Namun nyatanya tak semua orang tergiur dengan hal tersebut, sebut saja seperti Anthusa Agung yang sejak tahun 2011 menggeluti dunia letterpress dengan mesin manual.

Ditemui di studio miliknya yang berlokasi di kawasan Timoho, Kota Yogyakarta, pada Rabu (20/07/2022) lalu, lelaki berkacamata itu dengan antusias menjelaskan perihal usahanya.

“Mungkin tinggal aku yang masih pakai alat kaya gini di Indonesia,” katanya. Benar saja, mesin-mesin cetak yang terpampang di studionya terlihat cukup tua dan masih manual.

1. Berawal dari kenangan masa kecil, Agung temukan passion sesungguhnya

Agung Masih Setia Lestarikan Teknik Letterpress PrintingProses pencetakan teknik letterpress oleh Anthusa Agung (dok.istimewa)

“Dulu, om saya punya alat seperti ini (hand press). Tapi dari kecil aku dilarang masuk ke ruangan kerja karena pasti akan bikin berantakan, namanya juga anak kecil. Cuma dari jendela melihat orang kerja. Nah, suara mesin, orang bekerja, bau tinta, suasana kerja, radio, itu memorable buat aku,” kata Agung kembali mengingat alasan ketertarikannya akan letterpress print yang sudah banyak ditinggalkan sejak tahun 90-an.

Agung yang lulusan ekonomi ini memang pernah bekerja sebagai desain grafis.

“Aku ingin bikin sesuatu yang lain, capek juga kerja desain. Terus aku dapat mesin ini,” Agung mengaku mendapatkan alat-alat kerjanya dari percetakan yang tutup. Walau begitu, alatnya juga tak langsung bisa digunakan.

Banyak item yang hilang dan membuat mesinnya tak bisa bekerja dengan baik. Sampai-sampai Agung perlu mencari printilan pelengkap alatnya sampai ke luar negeri.

Baca Juga: Mahasiswi UNY Bawa Pempek Sampai ke Jerman

2. Jadi satu-satunya modern letterpress di Indonesia

Agung Masih Setia Lestarikan Teknik Letterpress PrintingProses pencetakan teknik letterpress (IDN Times/Dyar Ayu)

Agung kemudian menjelaskan secara singkat cara kerja letterpress print yang ditekuninya pada tim IDN Times Jogja yang ternyata cukup sulit. Letterpress type disusun kemudian ditempelkan pada alat, pemberian tinta, peletakan kertas, lalu proses cetak.

“Waktu aku awal memulai usaha ini, belum banyak ada di Yogyakarta. Bisa dihitung pakai jari, sekarang mungkin sudah gak ada,” ujarnya sambil tertawa.

Agung lalu menceritakan bahwa ia lebih dulu belajar secara otodidak soal letterpress print sebelum membuka jasa untuk umum di tahun 2011.

“Awal-awal aku buka ini malah banyak klien datang dari luar negeri. Orang Indonesia sendiri gak banyak yang tahu, sementara kalau di luar, sudah mulai banyak yang menjalankan ini (letterpress print).” Ujarnya kemudian.

Tak banyak orang Indonesia mau menjalankan usaha seperti Agung karena kesulitan pembuatan dan menemukan alatnya. Menurut Agung, teknologi itu ditinggalkan karena tidak efisien, biaya produksi yang mahal, dan masih membutuhkan tenaga tangan alih-alih yang sudah menggunakan listrik.

3. Teknik cetak baik menggunakan media kertas sampai kulit

Agung Masih Setia Lestarikan Teknik Letterpress PrintingHasil cetak oleh teknik letterpress dari McMurs YK (dok.istimewa)

Letterpress adalah teknik cetak relief dengan hasil deboss (efek tenggelam) dan teknik ini pertama kali ditemukan pada tahun 1945. Meskipun sudah banyak ditinggalkan dan orang beralih pada teknik cetak digital, Agung mengaku bahwa kliennya justru datang dari berbagai negara seperti Amerika, Malaysia, dan masih banyak lagi.

Mereka minta dibuatkan kartu nama, suvenir, sampai undangan pernikahan. Agung lantas memperlihatkan beberapa hasil produksinya yang memang menunjukkan nama dan lokasi di luar Indonesia.

“Selain itu, aku bikin kertas juga, ada yang dari jerami. Kertas itu ‘kan dulu dari jerami,” ucapnya. Walau begitu, Agung tidak menjual-belikan kertas bikinannya. Ia membuat kertas-kertasnya untuk dipakai sendiri. Sementara untuk kertas yang digunakan untuk produksi, Agung memilih memakai recycle paper.

Namun kini Agung tak hanya mencetak beralaskan kertas saja, loh. Beberapa kali ia menerima pekerjaan untuk mencetak di atas kain dan bahan kulit. Walau begitu Agung mengatakan bahwa tidak semua kain dan kulit tertentu yang bisa digunakan sebagai alas letterpress.

4. Agung memutuskan untuk membatasi produksi demi hasil yang maksimal

Agung Masih Setia Lestarikan Teknik Letterpress PrintingHasil cetak oleh teknik letterpress dari McMurs YK (dok.istimewa)

Keunikan yang dimiliki letterpress print ini adalah set type yang tidak bisa digunakan berulang kali. Karena itu membutuhkan set type dalam jumlah yang banyak untuk mencetak pesanan meskipun Agung sudah menggunakan yang modern alih-alih yang biasa.

Dalam satu hari, Agung membatasi jumlah produksinya yaitu sebanyak 500 lembar saja. Hal ini karena proses pembuatannya yang cukup lama, apalagi jika klien menginginkan hasil dengan lebih dari satu warna.

“Misalkan tiga warna, nih. Jadi menunggu lapisan pertama kering, lalu bisa ke warna berikutnya,” terangnya.

Proses pengeringannya juga tak bisa sembarangan, tidak boleh terkena matahari langsung karena akan mempengaruhi warna.

Anthusa Agung menjadi contoh nyata kalau menjalankan sebuah bisnis tak harus mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. Teknik cetak letterpress yang justru banyak ditinggalkan orang, justru jadi ladang cuan buatnya. Ditambah dengan ketekunan dan memori masa kecil akan alat-alat letterpress yang begitu dekat dengannya, seolah menjadi nyala semangat untuk terus berjalan pada passion.

Baca Juga: Komunitas Wayang Merdeka Kenalkan Wayang secara Menyenangkan

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya