Komunitas Braille'iant Indonesia, Bantu Difabel Netra Meraba Dunia

- 4 Januari diperingati sebagai Hari Braille Sedunia, momen untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak difabel yang sering terabaikan.
- Komunitas Braille'iant Indonesia berawal dari program PKM-M DIKTI 2010 oleh mahasiswa UGM, memberikan pendampingan bagi tunanetra dalam berbagai kegiatan.
- Komunitas ini tidak memiliki basecamp tetap, melainkan berkumpul di kafe-kafé untuk menciptakan lingkungan yang lebih difabel friendly.
Yogyakarta, IDN Times - Tahukah kamu bahwa 4 Januari diperingati sebagai Hari Braille Sedunia? Ini adalah momen yang tepat untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak difabel yang sering kali masih terabaikan.
Di Jogja, sejak 2010, ada komunitas bernama Braille'iant Indonesia yang berupaya menjembatani difabel netra dengan dunia luar. Komunitas ini menghadirkan berbagai program unik yang membantu mereka menjalani hidup dengan lebih sejahtera. Kegiatan mereka menarik untuk diulik, lho! Penasaran?
1. Berawal dari program mahasiswa UGM tahun 2010 dan bertahan sampai detik ini

Komunitas Braille'iant Indonesia berawal dari program PKM-M DIKTI 2010 yang diinisiasi oleh mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM).
"Programnya adalah memberikan pendampingan bagi tunanetra yang semester akhir atau yang sedang melaksanakan ujian. Jadi dari SD sampai mahasiswa yang membutuhkan pendampingan, akan didampingi," ujar Arif Prasetyo selaku ketua Komunitas Braille'iant Indonesia saat dihubungi oleh IDN Times pada Selasa (7/1/2025).
Melihat kebermanfaatan yang luar biasa dari program tersebut, lalu dibentuklah komunitas dengan nama Braille'iant Indonesia yang melibatkan teman-teman difabel netra secara langsung. Nama Braille'iant Indonesia sendiri berasal dari kata braille yang merupakan identitas komunitas yang peduli dengan isu difabel netra dan brilliant yang dalam bahasa Inggris berarti hebat.
2. Dampingi difabel netra tes CPNS sampai menonton film

Awal kegiatan dari komunitas tersebut adalah dengan memberikan berbagai macam pelatihan bahasa seperti Inggris, Arab, dan Indonesia. Tak sampai situ saja, ada kegiatan pendampingan di mana teman tunanetra didampingi dalam mengerjakan tugas, saat tes CPNS, TOEFL, dan lain-lain.
"Sebab pada zaman itu, teman-tema netra belum bisa menggunakan audio book di perangkat yang mereka punya. Karena di zaman tersebut laptop dan komputer masih sangat ekslusif," tutur Arif.
Sementara, program Braille'iant Indonesia sekarang lebih mengikuti perkembangan zaman. Mulai dengan siaran langsung di Instagram membicarakan tentang isu difabel yang sedang hangat diperbincangkan, acara Braille'iant Goes Museum di mana anggota komunitas diajak mengunjungi museum, hingga yang tak kalah seru adalah Layar Bisik di mana teman netra diajak nonton film bersama para pendamping yang bertugas membisikkan hal-hal visual yang terjadi di antara dialog.
Braille'iant Indonesia tidak punya basecamp yang dijadikan tempat ngumpul atau diskusi bersama seperti komunitas pada umumnya. Mereka memilih untuk berpindah dari satu kafe ke kafe yang lain.
"Tujuannya kita kumpul ke kafe-kafe ini supaya lebih banyak yang difabel friendly. Dan kalau setiap komunitas difabel bikin tempat kumpul sendiri, gak di tempat umum, semua akan jadi eksklusif," ucap Arif.
3. Punya volunteer yang bagai keluarga

Komunitas Braille'iant Indonesia tidak hanya diramaikan oleh para anggota difabel netra saja, tapi turut diisi oleh volunteer yang siap sedia membantu keberlangsungan event mereka. Menurut Arif, di Jogja sendiri ada 15 orang yang menjadi volunteer tetap di mana mereka adalah orang-orang yang cukup loyal kepada komunitas.
Selain volunteer tetap, ada pula yang magang maupun yang direkrut setiap komunitas ini menyelenggarakan event. Jumlah volunter yang direkrut ini jumlahnya berbeda tergantung besar kecilnya acara.
"Semua relawan nantinya akan ada pelatihannya, dilatih mengenal budaya tunanetra, bagaimana cara menggandeng teman tunanetra, bagaimana cara menyajikan makanan, cara berinteraksi, dan lain-lain," papar Arif.
Proses pemilihan volunteer ini juga cukup unik. Alih-alih pertanyaan sulit, Arif menuturkan kalau calon volunteer akan ditanyai soal hobi. Dari jawaban tersebut mereka akan ditempatkan pada bidangnya yang sesuai dengan hobi atau kemampuannya.
4. Mengakui sulitnya untuk regenerasi

Arif menuturkan bahwa kesulitan bukan datang dari cara mengelola komunitas, melainkan menjaga pertumbuhan Braille'iant Indonesia sendiri. Apalagi kini banyak tumbuh komunitas difabel baru dengan nama yang unik-unik.
"Juga bagaimana cara meregenerasi anak muda sekarang yang banyak tidak suka berkomunitas," kata dia.
Ia berharap ke depannya Braille'iant Indonesia menjadi salah satu wadah bagi orang-orang yang peduli pada isu disabilitas dan inklusi.
"Dengan simbol huruf braille yang titik-titik ini, teman-teman yang ada di dalam Komunitas Braille'iant Indonesia bisa ikut meraba dunia dengan caranya, gagasannya, dan hobinya sendiri," pungkas Arif.