TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Wedang Ronde, Minuman Hangat Khas Jogja yang Dapat Pengaruh Tionghoa

Bahannya serupa, yakni tepung ketan dan jahe

IDN Times/Nindias Khalika

Wedang ronde menjadi minuman yang digemari Sudias Tuti sejak masih gadis. Jika sedang ingin minum dan mempunyai waktu luang, perempuan berusia 55 tahun tersebut akan mengunjungi penjual wedang ronde favoritnya yang berada di dekat Pasar Lempuyangan.

"Saya suka minunan tradisional seperti ronde, bandrek, dan sekoteng. Ronde itu rasanya manis, hangat, terus segar jadi satu," jelasnya.

Selain wedang ronde yang terletak di dekat Pasar Lempuyangan, Tuti mengatakan dirinya juga suka menyantap minuman tradisional itu di tempat lain.

"Saya suka minum wedang ronde yang dijual di dekat Bakso Bethesda dan di Jalan Raya Tajem yang dekat lapangan. Menurut saya rasanya enak," katanya.

Tuti menerangkan bahwa dulu ia kerap diajak orang tuanya minum wedang ronde ketika sedang bepergian. Hal ini yang menumbuhkan kesukaannya pada minuman tradisional tersebut.

1. Wedang ronde di Malioboro

eksotisjogja.com

Selain tempat yang disebutkan Tuti di atas, penjual wedang ronde juga bisa ditemukan di sepanjang Malioboro kala sore hingga malam hari. Salah satu dari sekian banyak penjual minuman tradisional yang ada di sana adalah Suratman.

Ia berkisah bahwa dirinya baru dua tahun berjualan dengan cara menetap. Sebelumnya, ia berjualan mengelilingi Malioboro tiap hari dari sore sampai malam hari.

"Saya jalan sepanjang 3 km dari kontrakan di kebun binatang Gembira Loka ke Malioboro. Jualan sambil keliling lalu pulang dengan jarak yang sama setiap hari," katanya.

Baca Juga: Legendaris, Jajanan Pasar Mbah Satinem Masuk Serial Netflix!

2. Ronde berasal dari tepung ketan

IDN Times/Nindias Khalika

Suratman mengatakan wedang ronde yang ia jual menggunakan resep dari sang ayah. Bapak laki-laki berusia 41 tahun itu telah berjualan wedang ronde selama puluhan tahun. Ia menjelaskan bahan ronde buatannya terdiri dari tepung ketan, kacang, roti, dan kolang-kaling.

"Untuk ronde terbuat dari tepung ketan. Isinya ada kacang dan gula yang ditumbuk. Setelah jadi bola bulat direbus sampai mengembang," katanya sambil memberikan uang kembalian ke pembeli.

Khusus untuk kuah jahe, Suratman menjelaskan bahwa dirinya menggunakan beberapa rempah yang dicampur dalam 20 liter air dan direbus selama satu jam. "Bahannya ada jahe, daun pandan, daun jeruk, cangkeh, merica dan kayu manis sedikit," terangnya.

3. Ke Jogja, tak lengkap rasanya jika belum minum wedang ronde

instagram.com/atableforfatkids

Jika hari libur, Suratman bisa menjual lebih dari 100 mangkuk. Sementara di hari biasa, sebanyak 50 mangkuk dijual oleh Suratman.

"Saya jualan dari tahun 2002 ketika semangkuk harganya seribu. Semangkuk wedang ronde sekarang saya jual dengan harga Rp 8 ribu," jelasnya.

Kegemaran orang terhadap wedang ronde, menurutnya, tak terlepas dari anggapan bahwa minuman ini adalah kuliner khas Yogyakarta. "Kalau di Malioboro itu banyak yang dari luar Jawa. Mereka bilang kalau ke Jogja enggak minum ronde enggak lengkap rasanya," katanya.

4. Dipengaruhi kuliner Tionghoa

unsplash.com/chuttersnap

Wedang ronde memang banyak ditemui di Yogyakarta. Di kota lain seperti Solo dan Salatiga, minuman tradisional tersebut juga bisa dijumpai.Tapi, jika dilihat dari sudut pandang sejarah, wedang ronde merupakan minuman Indonesia yang mendapatkan pengaruh dari kuliner Tionghoa.

Di Tiongkok, makanan yang mirip ronde disebut dengan tangyuan. Wen Gong dalam Lifestyle in China (2007; 13), sebutan kuliner ini dikenal oleh masyarakat Negeri Tirai Bambu sebelah selatan sementara mereka yang tinggal di utara menyebutnya yuanxiao. Makanan ini biasa dinikmati pada Perayaan Lampion (Yuanxiao Jie) yang berlangsung 15 hari dari waktu pergantian tahun baru Imlek. Tangyuan terbuat dari tepung beras dan dibentuk bulat untuk melambangkan kebersamaan dan persatuan.

Baca Juga: Selain Gudeg, 7 Kuliner Khas Jogja Ini Juga Gak Kalah Unik dan Lezat!

Berita Terkini Lainnya