Klitih, Kegiatan Positif yang Kini Bergeser Jadi Aksi Brutal

Awalnya kegiatan mengisi waktu yang bersifat positif

Sleman, IDN Times - Sampai dengan saat ini, aksi klitih masih kerap terjadi di Yogyakarta. Tidak hanya di daerah yang masuk dalam kategori pedesaan, aksi ini juga tidak segan dilakukan di daerah yang tergolong ramai dan masuk dalam wilayah perkotaan. Pelakunya pun kebanyakan tergolong usia remaja dan masih duduk di bangku sekolah.

Sosiolog Kriminalitas Universitas Gadjah Mada (UGM), Suprapto menyebutkan, awalnya istilah klitih merupakan kegiatan mengisi waktu luang yang bersifat positif, seperti menunggu seseorang dengan melakukan kegiatan bermanfaat seperti membersihkan rumah, menjahit, maupun membersihkan perabot rumah. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, pemaknaan kata klitih kian bergeser, dan berubah menjadi perilaku menunggu dengan melakukan kegiatan negatif dan kriminal.

Baca Juga: Polres Bantul Amankan 12 Pelaku Klitih yang Sebabkan Satu Korban Tewas

1. Aksi klitih marak sekitar 2006-2007

Klitih, Kegiatan Positif yang Kini Bergeser Jadi Aksi BrutalPolres Bantul tangkap 12 pelaku kejahatan klitih. IDN Times/Daruwaskita

Suprapto menjelaskan, penamaan klitih ke makna negatif mulai marak di tahun 2006-2007. Menurut analisisnya, sebelum tahun tersebut, banyak terjadi aksi tawuran pelajar antarsekolah di Yogyakarta. Seiring dengan hadirnya peraturan yang melarang adanya tawuran, dan jika tertangkap akan dikeluarkan, maka siswa mulai takut dan mematuhi peraturan tersebut.

"Banyak siswa atau sekolah yang bisa berpikir rasional. Mereka tidak terpancing berbuat tawuran. Akhirnya ketika ada konflik antar pelajar, mereka bentuk penyelesaian tidak tawuran lagi," tuturnya.

"Tapi, bagi mereka yang masih hobi tawuran, dan ketika memancing sekolah lain tidak ditanggapi, akhirnya dengan berkeliling sepeda motor memancing pengendara lain untuk mencari musuh. Saat itulah kegiatan mengisi waktu mereka dimaknai kegiatan mencari musuh. Sehingga makna klitih menjadi negatif," lanjut Suprapto.

2. Ada aktor di balik aksi klitih

Klitih, Kegiatan Positif yang Kini Bergeser Jadi Aksi BrutalKapolresta Yogyakarta, Kombes Pol Armaini menunjukan barang bukti berupa senjata terbuat dari standar motor. (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Suprapto menjelaskan, untuk pencetus awal pemaknaan klitih dalam makna negatif tidak mungkin dilontarkan oleh pelajar, lantaran sampai sekarang pun pelajar tidak paham makna klitih yang sebenarnya. Dia menduga ada pihak eksternal yang memanfaatkan perilaku remaja untuk melakukan tindakan perkelahian, permusuhan atau pun konflik.

"Makanya daripada nganggur di sekolah, kita menjaga nama almamater lalu mencari musuh. Saya yakin istilah itu bukan dari remaja, tapi dari luar, karena pelajar tidak tahu istilah klitih dalam arti sebenarnya. Mereka tahunya ya klitih itu mencari musuh," terangnya.

Selain itu, dari senjata yang digunakan juga tidak mungkin dibuat oleh pelajar, lantaran ada senjata seperti disc brake sepeda motor yang diubah berbentuk celurit dan sebagainya.

3. Aksi klitih mulai banyak dilakukan anak SMP

Klitih, Kegiatan Positif yang Kini Bergeser Jadi Aksi BrutalSejumlah senjata tajam berhasil diamankan dari kelompok remaja yang diduga punya niatan klitih. (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Menurut Suprapto, pada awalnya pelaku yang melakukan aksi klitih didominasi oleh anak SMA, atau mereka yang masih dalam tahap transisi menuju dewasa. Namun, dengan seiring berjalannya waktu, para pelaku sudah mulai turun ke usia anak SMP.

"Tapi sekarang turun ke SMP, dan saya menangkap pihak tertentu (eksternal) memanfaatkan perilaku anak-anak. Kalau dilakukan anak maka hukumannya tidak seberat kalau dilakukan sendiri. Ada pihak yang nabok nyilih tangan istilahnya," katanya.

4. Semua elemen harus bersinergi untuk meminimalisir

Klitih, Kegiatan Positif yang Kini Bergeser Jadi Aksi BrutalSepuluh remaja diamankan karena diduga akan lakukan klitih, Minggu (12/1). (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Suprapto menjelaskan, untuk meminimalisir aksi klitih, semua elemen harus turut serta. Baik keluarga, lembaga pendidikan, lembaga agama, lembaga ekonomi, dan pemerintah. Sebagai pengendali anak, keluarga harus selalu menulusuri perilaku remaja yang pulang lebih dari pukul 00.00 WIB.

"Kalau jam 12 anak belum di rumah dipertanyakan, kalau dibiarkan memberi peluang mereka membuat anarkis. Fungsi sosialisasi nilai norma dan budaya serta perlindungan ada di keluarga. Untuk lembaga pendidikan, saya kira sesuai dengan visi pendidikan menciptakan insan Indonesia yang cerdas, kompetitif dan bermartabat, ya harapannya 18 karakter yang diselipkan dalam kurikulum jangan hanya jadi slogan," ungkapnya.

Baca Juga: Atasi Klitih, Pemda DIY Akan Gunakan Pendekatan Dialog Berbasis Budaya

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya