Rifka Annisa: Catcalling Bukan Pujian, Bikin Ruang Publik Tak Aman

Berempati pada korban dan beri sanksi pada pelaku

Yogyakarta, IDN Times - Banyak tempat publik dan tempat wisata di Yogyakarta yang menjadi ruang interaksi banyak orang. Sementara, belum ada perilaku masyarakat maupun kebijakan untuk membuat ruang publik yang aman, sehingga perilaku catcalling maupun bentuk-bentuk pelecehan dan kekerasan seksual bisa saja terjadi dan berulang.

Tak hanya di Yogyakarta, di daerah mana pun akan menjadi tempat berisiko terjadinya pelecehan seksual.

“Selama masih banyak orang berpikiran seksis dan merendahkan perempuan, catcalling bisa terjadi di mana pun,” kata Direktur Rifka Annisa Women Crisis Center, Defirentia One Muharomah, saat dihubungi IDN Times, 8 Februari 2020 malam.

Baca Juga: Viral, Perempuan Jadi Korban Catcalling Petugas di Malioboro

1. Catcalling berawal dari ejeken penonton terhadap pertunjukkan di panggung

Rifka Annisa: Catcalling Bukan Pujian, Bikin Ruang Publik Tak AmanPixabay.com

Istilah “catcalling” sebagaimana dijelaskan Delvi Windrayani dalam skripsinya pada 2020 yang berjudul Persepsi Mahasiswa terhadap Aktivitas Catcalling di Lingkungan Kampus Universitas Medan Area disebut dalam pertunjukkan kartun karya Tex Avery.

Namun dalam praktiknya, menurut Shannon dalam artikel berjudul The History (and Future) of the Catcall, perilaku catcalling diduga diterapkan pertama kali pada abad XVII. Ketika itu, para penonton membuat suara desisan atau menjerit seperti kucing liar yang dimaksudkan untuk mengejek penampilan seorang pemain di atas panggung.

Perkembangannya, masyarakat Amerika Serikat menyebut perilaku semacam itu dengan istilah “catcalling”, yaitu tindakan verbal yang dilontarkan secara seksis dengan maksud menggoda atau melecehkan.

2. Catcalling bukan pujian

Rifka Annisa: Catcalling Bukan Pujian, Bikin Ruang Publik Tak Amanpexels.com/année

Tak hanya sebutan dengan kata-kata bernada seksis yang seolah memuji seperti ‘cantik’ atau ‘seksi’, ternyata catcalling beragam bentuknya. Sejumlah sumber menyebutkan antara lain secara verbal, pelaku mengomentari secara terang-terangan dengan seksis atas bentuk tubuh korban atau pun pakaian yang dikenakan korban. Kemudian bersiul atau pun mengeluarkan suara ciuman di dekat wajah korban.

Sejumlah sumber juga menyebut tindakan fisik yang dimaksudkan untuk melecehkan pun dikategorikan catcalling. Seperti melirik korban, perilaku menatap korban dengan gestur menggigit bibir bawah, menggosokkan jari di telapak tangan korban ketika bersalaman, menguntit atau menghalangi perjalanan korban. Bahkan secara vulgar memegang pakaian hingga bagian tubuh korban, seperti bokong, payudara, paha.

“Tidak ada orang melakukan catcalling untuk pujian,” kata One menegaskan.

Bahkan ketika pelaku memanggil korban dengan sebutan 'cantik', memberi siulan, atau memberikan komentar tertentu, korban maupun publik perlu menyadari maksud sebenarnya adalah menggoda dan melecehkan.

“Dan itu merendahkan perempuan,” kata One.

3. Catcalling bisa menyebabkan trauma

Rifka Annisa: Catcalling Bukan Pujian, Bikin Ruang Publik Tak AmanPexels/ Juan Pablo Serrano Arenas

Catcalling termasuk pelecehan seksual. Bisa juga dikatakan sebagai kekerasan secara verbal. Lantaran ketika seorang perempuan mengalami catcalling akan merasa terganggu rasa aman, nyaman, bahkan berdampak ketakutan.

“Ada yang sampai trauma,” kata One.

Dia mencontohkan sejumlah kasus. Saat peristiwa terjadi, sebagian korban biasanya merasa bingung, takut, dan cemas. Jarang sekali ada yang langsung berani merespons balik atau mengonfrontasi pelaku.

Jika korban terbiasa lewat di tempat tertentu dan kemudian merasa enggan atau takut melewati tempat itu lagi karena pernah mengalami pengalaman buruk di sana, maka korban mengalami trauma.

Jika dampak pelecehan seksual sudah sangat parah dan mengganggu kehidupan korban, maka korban bisa ditanya dan ditawarkan bantuan. Misalnya, ia membutuhkan dukungan serta bantuan profesional untuk mengatasi trauma dan dampak psikologis lainnya.

Baca Juga: Jadi Korban Catcalling, Segera Lakukan 5 Hal Berikut Ini

4. Publik masih menganggap catcalling adalah perilaku wajar

Rifka Annisa: Catcalling Bukan Pujian, Bikin Ruang Publik Tak Amantwitter.com/RallaLembayung

Sejumlah persoalan muncul dari masyarakat atau pun pemegang kebijakan dalam merespon catcalling ini. Ada sebagian orang yang mengabaikan catcalling karena menganggap itu hal yang wajar dan biasa, bukan ancaman, apalagi pelecehan. Lantaran mereka tidak paham ada unsur pelecehan dalam perilaku tersebut.

Di sisi lain, korban yang mengalami pelecehan sudah berani speak up. Bahkan berani menunjukkan ketidaknyamanan atau ketidaksetujuannya atas tindakan pelaku. Namun tindakan korban malah disepelekan, dianggap tidak penting. Ada juga yang merespons dengan menyatakan “ah gitu doang kok marah”, atau dicap baperan.  

Masyarakat karena ketidaktahuannya menganggap catcalling sebagai hal biasa. Mereka cenderung menoleransi perilaku pelaku untuk melakukan hal tersebut karena tidak ada yang pernah menegur, memperingatkan, atau pun memberikan sanksi. Sebagian orang juga tidak punya empati kepada korban, tidak pernah mendengarkan korban, bahwa catcalling bisa berdampak secara psikologis.

Kesadaran tentang catcalling merupakan bentuk pelecehan ini harus diedukasi kepada semua orang agar mereka tidak menjadi pelaku dan segera menyadari ketika menjadi korban. Termasuk juga bagi orang yang mengetahui atau menjadi saksi ketika peristiwa itu terjadi.

“Jadi catcalling ini tidak bisa dianggap remeh,” kata One.  

5. Jangan menyalahkan korban, berempatilah

Rifka Annisa: Catcalling Bukan Pujian, Bikin Ruang Publik Tak AmanUnsplash.com/Rosie Fraser

Persoalan lainnya, korban yang menjadi korban catcalling justru acapkali dihakimi. Mereka dituding sebagai penyebab aksi catcalling terjadi. Semisal karena pakaian mini yang dikenakan korban atau pun korban yang bepergian seorang diri. Padahal korban yang mengenakan pakaian yang dianggap sopan   

Menurut One, justru stigma tersebut yang menjadikan pelecehan dan kekerasan masih langgeng terjadi.

“Pelaku semakin tidak bertanggung jawab atas perbuatannya dan membebankan dampaknya kepada korban,” kata One.

Publik seharusnya menyikapi catcalling tidak jauh beda dengan menyikapi pelecehan seksual maupun kekerasan terhadap perempuan.

“Kita perlu berempati dan hindari menyalahkan atau menganggap remeh kejadian tersebut,” kata One.

6. Tak hanya diberi sanksi, pelaku harus mendapat edukasi

Rifka Annisa: Catcalling Bukan Pujian, Bikin Ruang Publik Tak AmanTwitter.com/UPTMalioboro

Jika pelaku adalah aparat pelayan publik yang semestinya menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat di tempat publik, sudah sepatutnya pihak otoritas atau instansi terkait memberikan peringatan, bahkan sanksi kepada yang pelaku.

“Agar kejadian tersebut tidak berulang,” kata One.

Tak sekedar sanksi, menurut One, perlu ada edukasi terkait pelecehan seksual kepada petugas pelayan masyarakat. Tidak hanya untuk mencegah mereka jadi pelaku, tapi penting juga membekali pengetahuan bagaimana respons yang harus diberikan kepada korban ketika petugas mengetahui kejadian.

Sejumlah negara, menurut One, telah menerapkan sanksi denda kepada pelaku. Bahkan pelaku masuk bui karena tak sanggup membayar denda. Sebut saja seperti Kanada, Belgia, Amerika Serikat, Portugal, Argentina, Selandia Baru. Bagaimana di Indonesia?

7. Mencegah catcalling dengan menciptakan ruang aman dan nyaman bagi publik

Rifka Annisa: Catcalling Bukan Pujian, Bikin Ruang Publik Tak AmanIlustrasi ruang aman untuk perempuan. IDN Times/Paulus Risang

One menyarankan, pembuat kebijakan dan masyarakat menciptakan ruang publik yang aman dan nyaman bagi perempuan. Juga melakukan edukasi diri dan orang lain untuk menghargai dan tidak melecehkan perempuan.

Lantaran semua orang berhak atas rasa aman dan nyaman di manapun berada, termasuk di tempat umum. Pelecehan seperti catcalling menjadikan ruang publik tidak aman untuk perempuan.

“Kalau publik dan pemerintah ingin menunjukkan Yogyakarta ini kota berbudaya, ya itu perilakunya harus merepresentasikan budaya yang luhur,” kata One. Meliputi budaya yang membuat orang selalu nyaman, aman, dan betah berada di Yogyakarta. Serta tanpa takut mengalami pelecehan dan kekerasan.

Baca Juga: Pemkot Yogyakarta Berharap Tak Ada Lagi Kasus Catcalling di Malioboro 

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya